Umar bin Abdul Aziz Peristiwa-peristiwa Menakjubkan Dalam Hidupnya
Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud, dan khalifah
rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari
taman bunga yang indah. Kisah hidup yang mengagumkan laksana taman yang
harum semerbak, di manapun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah
suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan
buah-buahan yang lezat rasanya.
Meski kami tak sanggup memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “ma laa yudraku kullahu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Meski kami tak sanggup memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “ma laa yudraku kullahu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Kisah mengesankan yang pertama diriwayatkan oleh Salamah bin Dinar,
seorang alim di Madinah, qadhi, dan syaikh penduduk Madinah. Beliau
menuturkan kisahnya:
“Suatu ketika, aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz
tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama
saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di
depan pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau
lagi lantaran banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan
dengan tatkala bertemu dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau
menjadi gubernur di sana. Beliau menyambut kedatanganku dan berkata:
Umar: “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”
Aku: (Akupun mendekat), Bukankah Anda amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz?”
Umar: “Benar!”
Aku: “Apa yang menyebabkan Anda berubah?! Bukankah wajah Anda dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”
Umar: “Begitulah, aku memang telah berubah.”
Aku: “Lantas apa yang menyebabkan Anda berubah, padahal Anda telah
menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul
mukminin?”
Umar: “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu Hazim?”
Aku: “Tubuh begitu kurus dan kering, kulit Anda yang menjadi kasar
dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup..”
Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata,
Umar: “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga hari aku
di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku.. perutku
telah terburai isinya… ulat-ulat tanah menggerogoti sekujur badanku
dengan lahapnya. Sungguh jika engkau melihatku ketika itu wahai Abu
Hazim, tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda
tentang suatu hadis yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah
wahai Abu Hazim?”
Aku: “Saya telah menyampaikan banyak hadis wahai amirul mukminin, lantas hadis manakah yang Anda maksud?”
Umar: “Yakni hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.”
Aku: “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”
Umar: “Ulangilah hadis itu untukku, karena saya ingin mendengarnya dari Anda!”
Aku: “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar rintangan yang
terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya dengan
selamat melainkan orang yang kuat.”
Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengharukan, saya khawatir
jika tangisan tersebut memecahkan hatinya. Kemudian beliau air matanya
dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurku wahai
Abu Hazim bila aku berleha-leha dalam mendaki rintangan yang terjal
tersebut sehingga aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika aku
tidak berhasil.
Kisah kedua dalam kehidupan Umar, ath-Thabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdaas, beliau bercerita:
“Tatkala amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai
khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi as-Sari, gubernur
beliau di Shugdi yang isinya, ‘Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk
menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka
jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah
kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu
untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari
kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolok baginya dan
tidak ada kendaraan yang bisa dia tunggani, maka berikanlah kepadanya
sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat
asalnya.”
Gubernur Sulaiman segera melaksanakan titah amirul mukminin. Dia
membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin
untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di
segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di Barat dan di
Timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan
khalifah.
Hingga sampai pula berita itu kepada penduduk Samarkand. Mereka tidak
menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman
bin as-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama
Qutaibah bin Muslim al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa
mendakwahi kami terlebih dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian
lakukan –wahai kaum muslimin- yakni menawarkan pilihan sebelum
memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk
Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian menyuruh mereka untuk
membayar jizyah, jika mereka menolaknya barulah kalian memberikan
ultimatum perang.
Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan ketakwaannya.
Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian kepada
kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah
dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka
izinkanlah wahai amir agar salah satu dari kami melaporkan hal itu
kepada khalifah Anda dan untuk mengadukan kezhaliman yang telah kami
rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk
kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”
Gubernur Sulaiman mengizinkan salah seorang dari mereka menjadi duta
untuk menemui khalifah di negeri Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai
di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah
muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk
gubernurnya Sulaiman bin as-Sari yang antara lain berisi:
“Amma ba’du.. jika surat saya ini telah sampai kepada Anda,
maka tunjuklah seorang qadhi (hakim) untuk penduduk Samarkand yang akan
mempelajari aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa
kebenaran di pihak mereka, maka perintahkan kepada seluruh pasukan kaum
muslimin untuk meninggalkan kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang
telah tinggal bersama mereka untuk segera kembali ke negeri mereka. Lalu
pulihkan situasi seperti semula sebagaimana tatkala kita belum
memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim al-Bahili masih ke negeri
mereka.”
Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat dari
amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang qadhi
yang terkemuka bernama “Jumai’ bin Hadhir An-Naaji.” Beliau segera
mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal
ihwal mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan
muslim dan pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan
tuduhan penduduk Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.
Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum
muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas
mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang lain.
Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan
mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan
takdirnya untuk menaklukkan mereka.
Tatkala para pembesar Samarkand mendengar keputusan sang qadhi yang
memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain:
“Celaka, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan
tinggal bersama mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar
mereka tetap tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik,
dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka…”
Tinggallah peristiwa ketiga yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz.
Kisah ini dituturkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam kitabnya
yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz). Beliau berkata:
“Menjelang wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik dan
berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak
Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda
mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga
Anda untuk anak-anak Anda.” Ketika dia telah selesai berbicara, Umar
berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” Maka mereka pun mendudukkan beliau,
lalu beliau berkata: “Sungguh aku mendengar apa yang Anda katakan wahai
Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi anak-anak untuk
mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi
sesuatu yang memang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani
memberikan harta yang memang bukan hak mereka.
Adapun yang kau katakan,
“Alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda
percaya di antara keluarga Anda untuk (menanggung) anak-anak Anda,” maka
sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah
menurunkan al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang
shalih. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu di
antara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan bertkwa
sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia
menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka
yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau
menjadi orang yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada
Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan
anak. Begitu melihat mereka, meneteslah air mata beliau seraya berkata,
“Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.”
Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan
berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian
kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim
atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka.
Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua
pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka,
ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya
percaya bahwa kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka
daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya
berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah
kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian..” lalu Maslamah
menoleh kepada beliau dan berkata,
Maslamah: “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
Umar: “Apakah itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Saya memiliki 300.000 dinar… saya ingin menghadiahkan
kepada Anda lalu bagilah utnuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda
menghendaki.”
Umar: “Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Apakah itu wahai Amirul mukminin?”
Umar: “Engkau kembalikan dari siapa barang tersebut diambil, karena kamu tidak memiliki hak atas barang tersebut.”
Maka meneteslah air mata Maslamah seraya berkata,
Maslamah: “Semoga Allah merahmati Anda wahai Amirul Mukminin tatkala
hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras
di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan
senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang anak-anak
Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di antara
mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.” (QS. An-Nisaa: 9)
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com
No comments:
Post a Comment