Ibrahim Al-Harbi dan Buku-Bukunya
Ibrahim Al-Harbi dan Buku-Bukunya
Khathib Al-Baghdadi berkata dalam Tarikh Baghdad, VI: 31, Ibnu Abu Ya’la dalam Thabaqatul Hanabilah I: 86-88, dan Syamsuddin An-Nablusi dalam Mukhtasar-nya
hal. 51 dan 294, tentang biografi Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi (lahir
tahun 198 H, dan wafat tahun 285 H di Baghdad). Ia seorang imam dan
simbol dalam hal ilmu, kezuhudan, fiqih, hadis, sastra, dan bahasa,
Khathib Al-Baghdadi berkata, bahwa Ibrahim Al-Harbi pernah
menuturkan, “Aku telah menghabiskan umurku selama 30 tahun hanya dengan
memakan dua potong roti. Jika ibuku atau saudaraku perempuanku datang
membawanya kepadaku, maka aku memakannya. Namun jika tidak, maka aku
tetap dalam keadaan lapar dan haus sampai malam yang kedua.
Aku juga telah menghabiskan 30 tahun dari umurku hanya dengan memakan
satu potong roti setiap harinya. Jika istriku atau salah seorang anak
perempuanku datang membawanya kepadaku, maka aku memakannya. Namun jika
tidak, maka aku tetap dalam keadaan lapar dan haus sampai malam
berikutnya.
Sekarang aku makan hanya dengan setengah potong roti dan empat butir
kurma jika itu kurma bagus, atau dua puluh lebih jika itu kurma jelek.
Tatkala anak perempuanku sakit, maka istriku mengunjunginya dan selalu
merawatnya selama satu bulan penuh.
Jatah berbukaku dalam sebulan ini
hanya dengan satu dirham dan dua setengah daniq! Aku masuk pemandian,
lalu membeli sabun untuk keluargaku dengan harga 2 daniq. Jadi, jatah
belanjaku selama bulan Ramadhan ini adalah satu dirham dan empat
setengah daniq.”
Abul Qasim bin Bukair berkata, “Aku pernah mendengar Ibrahim Al-Harbi
menuturkan, ‘Kami tak pernah mengenal masakan-masakan ini sedikit pun.
Dari sore berikutnya, ibuku hanya menyediakan maknanan untukku, berupa
terong bakar atau sepotong lemak, atau sepirik lobak.”
Abu Ali Al-Khayyath (si penjahit), yang lebih dikenal dengan julukan
Al-Mayyit (si mayit) bercerita, “Pada suatu hari, aku duduk bersama Ibrahim Al-Harbi
di pintu rumahnya. Tatkala memasuki pagi hari, ia berkata kepadaku,
‘Wahai Abu Ali, pergilah menunaikan kesibukanmu.
Aku mempunyai sebuah
lobak. Tadi maalm aku telah memakan daunnya. Sekarang aku akan memakan
batangnya’.”
Kemudian Khathib Al-Baghdadi merwiyatkan dengan sanadnya yang
disandarkan kepada Ahmad bin Salman An-Najjad, salah seorang ahli hadis
dari kalangan ulama madzhab Hanbali angkatan pertama, juga salah seorang
ahli fiqih yang miskin, namun tetap bersyukur, semoga Allah
merahmatinya.
Ahmad bin Salman An-Najjad Al-Qathi’i berkata, “Aku
mengalami kesulitan hidup yang sangat. Maka, aku pergi menemui Ibrahim Al-Harbi
untuk mengatakan kepadanya apa yang aku alami.
Ia mengatakan kepadaku,
‘Janganlah dadamu merasa sempit, karena Allah pasti akan menolongmu.
Aku
juga pernah mengalami hal yang sama. Bahkan, sampai pada tingkat
keluargaku tidak memiliki apa-apa untuk mereka makan. Kemudian istriku
berkata kepadaku, ‘Anggap saja aku dan kamu bisa bersabar, lalu
bagaimana dengan dua anak perempuan yang masih kecil ini? Berikanlah
sebagian bukumu.
Kita jual atau gadaikan saja!’ Aku tak setuju dengan
usulan istriku itu. Kukatakan kepadanya, ‘Berutanglah sesuatu untuk
kedua anak perempuan kita. Beri aku kesempatan sampai besok pagi.’
Aku mempunyai sebuah kamar di salah satu sudut rumah untuk menyimpan
buku-bukuku. Di dalamnya aku biasa duduk untuk menyalin buku dan
mengkajinya.
Pada malam itu ada seseorang mengetuk pintuku. Aku
bertanya, ‘Siapa itu?’ Ia menjawab, ‘Seorang tetangga.’ Kukatakan,
‘Silakan masuk.’ Ia berkata, ‘Matikan dulu lampumu, baru aku masuk.’
Aku pun meredupkan sedikit lampuku, lalu kukatakan, Masuklah.’ Maka,
ia masuk ke kamar di salah satu sudut rumah itu dan meletakkan sebuah
kantong besar.
Ia mengatakan kepadaku, ‘Kami membuat makanan yang cukup
enak buat anak-anak kami, maka kami ingin kamu dan anak-anakmu
mendapatkan bagian darinya. Adapun ini sesuatu yang lain.’ Ia
meletakkannya di samping kantong besar itu seraya berkata, ‘Gunakan ia
untuk keperluanmu.’ Aku tidak mengenal laki-laki itu. Lalu, ia
meninggalkanku dan berlalu.
Aku memanggil istriku. Kukatakan kepadanya, “Nyalakan lampu.” Ia pun
menyalakan lampu dan segera datang. Ternyata kantong tersebut berupa
bungkusan makanan yang besar. Isinya lima puluh wadah makanan.
Masing-masing wadah makanan itu berisi aneka jenis makanan.
Dan, di
samping bungkusan besar itu terdapat kantong berisi uang 1.000 dinar.
Maka, aku berkata kepada istriku, “Bangunkan anak-anak agar mereka bisa
makan.” Esok harinya kami melunasi utang dari uang tersebut.
Kala itu waktu kedatangan jamaah haji dari Khurasan. Aku duduk di
pintu rumahku pada esok hari setelah kejadian malam itu. Tiba-tiba
datanglah seorang pemelihara unta yang menuntun dua ekor unta dengan
mengangkut dua karung rezeki di punggungnya.
Ia menanyakan tentang rumah
Ibrahim Al-Harbi. Tatkala ia tiba di depanku, kukatakan, ‘Aku Ibrahim Al-Harbi.”
Kemudian ia menurunakn dua karung rezeki itu seraya berkata, ‘Dua
karung ini adalah kiriman seseorang dari penduduk Khurasan.’ Aku
bertanya, ‘Siapa dia?’ Ia menjawab, ‘Ia telah memintaku bersumpah agar
tidak mengatakan siapa dia.’
Ahmad bin Salman An-Najjad berkata, ‘Aku pun beranjak dari samping Ibrahim Al-Harbi.
Aku pergi ke kuburan Ahmad. Aku menziarahinya, lalu pulang.
Tatkala aku
sedang berjalan di pinggir parit, tiba-tiba ada seorang wantia tua
tetangga kami berpapasan denganku. Ia bertanya kepadaku, ‘Mengapa kamu
bersedih?’ Maka, aku menceritakan kepadanya apa yang kualami.
Ia
berkata, ‘Sebelum wafat, ibumu telah memberiku 300 dirham. Ibumu
berpesan, ‘Simpanlah uang ini di rumahmu. Jika kamu melihat anakku
mengalami kesulitan dan bersedih, maka berikanlah uang itu kepadanya.’
Oleh karena itu, ikutilah aku.
Aku akan berikan uang tersebut kepadamu.’
Aku pun pergi mengikutinya, lalu ia memberikan uang tersebut kepadaku.”
Ahmad bin Salman An-Najjad ini, sebagaimana dikatakan oleh Khathib Al-Baghdadi saat menjelaskan tentang biografinya dalam Tarikh Baghdad,
IV: 191, ia selalu berpuasa setahun penuh. Setiap malam, ia berbuka
dengan satu potong roti dan menyisakan satu suapan.
Jika malam Jumat
tiba, maka jatah berbukanya ia sedekahkan, sementara ia sendiri berbuka
dengan suapan-suapan yang sebelumnya telah ia sisihkan.
Kemudian Khathib Al-Baghdadi memaparkan dengan sanadnya yang disandarkan kepada Abul Qasim bin Al-Jabali, ia berkata, “Ibrahim Al-Harbi
menderita suatu penyakit, hingga hampir wafat.
Suatu hari, aku
menjenguknya. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abul Qasim, aku menghadapi
masalah besar dengan anak perempuanku.’ Kemudian ia berkata kepada anak
perempuannya, ‘Berdirilah, temuilah pamanmu.’ Anak perempuan itu pun
keluar dan membuka cadarnya.
Ibrahim berkata kepada anak perempuannya,
‘Ini adalah pamanmu, berbicaralah dengannya.’
Anak perempuan itu berkata, ‘Wahai paman, kami menghadapi masalah
besar! Tapi tak terkait masalah dunia maupun akhirat! Selama satu bulan,
satu tahun, kami tidak mempunyai makanan selain potongan-potongan roti
kering dan garam. Terkadang tanpa garam.
Kemarin Al-Mu’tadhid
mengirimkan uang 1.000 dinar kepada bapak melalui Badar, tetapi bapak
menolaknya. Fulan dan fulan juga mengirim uang kepada bapak, tetapi
bapak juga tidak mengambil sedikit pun. Padahal bapak sedang sakit.’
Ibrahim menoleh ke arah anak perempuannya sambil tersenyum. Ia
bertanya kepada anak perempuannya, ‘Wahai anakku, kamu takut miskin?’
Anak perempuannya menjawab, ‘Benar.’ Maka, ia berkata kepada anak
perempuannya, ‘Lihatlah ke sudut itu.’ Anak perempuan itu melihat ke
arah yang ditunjukkan bapaknya. Ternyata ada banyak buku. Kemudian
Ibrahim berkata, ‘Di sana ada 12.000 juz buku bahasa dan kata-kata
sulit. Aku telah menulisnya dengan tulisan tanganku. Jika aku mati,
ambillah setiap hari satu juz. Kamu bisa menjualnya dengan harga satu
dirham. Orang yang mempunyai 12.000 dirham, maka ia bukanlah orang
miskin.”
Kemudian Khathib Al-Baghdadi memaparkan dengan sanadnya, dan Ibnul Jauzi dalam Manaqibul Imam Ahmad,
Hal. 508, dengan sanadnya pula yang disandarkan kepada Abu Imran
Al-Asyyab, ia berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibrahim Al-Harbi, ‘Bagaimana Anda mampu mengumpulkan buku-buku ini?’ Mendengar pertanyaan itu, Ibrahim Al-Harbi marah seraya berkata, ‘Aku mampu mengumpulkan buku-buku ini dengan daging dan darahku! Dengan daging dan darahku!”
Penulis berkomentar, bahwa jika kita mengetahui begitu cintanya Ibrahim Al-Harbi
dengan buku-bukunya, dan bagaimana cara ia mengumpulkan buku-buku itu,
yaitu dengan daging dan darahnya, maka mana mungkin ia mau menuruti
saran istrinya saat berkata kepadanya, “Berikanlah sebagian bukumu. Kita
jual atau kita gadaikan saja.”
Buku-buku bagi para istri laksana istri kedua suami yang
merugikannya. Begitu para istri itu tertimpa kesulitan untuk pertama
kalinya, maka pikiran mereka langsung tertuju kepada buku-buku itu untuk
dijual dan dikeluarkan dari rumah. Adapun buku-buku bagi para ulama
laksana para saudara sekaligus penolongnya.
Manakala mereka ditimpa
kesempitan, mereka akan mampu bersabar bila harus kelaparan, tidak
memiliki pakaian, dan miskin. Akan tetapi, mereka takkan ammpu bersabar
bila harus berpisah dengan buku-buku tersebut dan menjualnya.
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam Zam, Cetakan:1: 2008
No comments:
Post a Comment