Yang Langka, Jenaka, dan Pilihan
Seorang yang miskin meminta kepada orang pedalaman agar kebutuhannya
dipenuhi. Orang pedalaman tersebut berkata, “Saya tidak mempunyai apa
pun untuk diberikan kepada orang lain. Harta yang saya punya, saya
sendirilah yang paling berhak menggunakannya. Si peminta berkata, “Di
manakah orang-orang yang mengutamakan (orang lain) daripada dirinya
sendiri?” Orang pedalaman pun menimpali. “Mereka pergi bersama
orang-orang yang tidak meminta secara paksa kepada orang lain.”
Ada orang bodoh –dia menghindari ghibah (menggunjing)- saking
menghindarinya, ia pun menjadi orang yang berlebihan. Ia ditanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang iblis?” Dia menjawab, “Saya sering
mendengar pembicaraan mengenai Iblis. Allah yang Maha Mengetahui rahasia
iblis.
Seorang laki-laki berangkat untuk berjuang di jalan Allah. Dia
meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ada sebagian perempuan yang lemah
iman berkata kepada istri pejuang tersebut, “Wahai ibu yang miskin!
Siapa orang yang akan membiayai keluargamu serta merawat anak-anakmu
jika ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan suamimu
meninggal dunia dan tercatat sebagai orang yang mati syahid?” Perempuan
mukminah itu pun berkata lantang dengan penuh kemantapan, keimanan, dan
ketenangan, “Sungguh, yang saya tahu suamiku adalah tukang makan. Saya
tidak mengenal dia sebagai pemberi rezeki. Jadi, apabila tukang makan
meninggal dunia, maka Sang Pemberi Rezeki masih tetap hidup.”
Pada suatu hari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu terdiam di
depan Ka’bah, lalu dia berkata kepada para sahabatnya, “Bukankah jika
seseorang hendak melakukan perjalanan, pastinya dia mempersiapkan
bekal?” Mereka menjawab, “Iya, benar.” Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Padahal perjalanan akhirat lebih jauh daripada perjalanan
kalian ini.” Mereka pun berkata, “Tunjukkan kepada kami bekal untuk
ahirat!” Dia berkata, “Lakukanlah ibadah haji untuk menghadapi hal-hal
besar, laksanakanlah shalat dua rakaat di malam yang gelap untuk
menghadapi kesulitan di alam kubur, dan berpuasalah pada hari yang
sangat terik untuk menghadapi lamanya hari kiamat.”
Al-Jahizh, seorang penulis, ahli sastra Arab terkenal adalah seorang
yang buruk rupa, tetapi dia sombong meskipun tentang fisiknya. Al-Jahizh
pernah bercerita mengenai dirinya sendiri. Dia berkata, “Saya pernah
berdiri di depan pintu rumahku, lalu ada seorang perempuan yang
menghampiriku.” Perempuan tersebut berkata, “Saya butuh kepadamu. Saya
ingin engkau ikut bersamaku untuk suatu kepentingan.” Al-Jahizh
melanjutkan ceritanya, “Saya pergi bersamanya sehingga kami sampai ke
toko emas. Lalu perempuan tersebut berkata kepada tukang emas, ‘Seperti
ini,’ sambil menunjuk ke arahku. Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.
Lalu saya bertanya kepada tukang emas, ‘Apa maksud dari perkataan
perempuan tersebut?” Tukang emas menjelaskan, “Perempuan tersebut pernah
membawa batu mata cincin kepadaku dan menyuruhku agar aku melukiskan
gambar setan di atasnya, lalu saya berkata kepadanya, “Wahai nona! Saya
belum pernah melihat setan sama sekali.’ Lantas dia datang lagi
membawamu dan mengatakan apa yang telah kamu dengar tadi.”
Isham bin Yusuf melewati Hatim al-Asham di majelis pengajiannya, lalu
Isham bertanya, “Wahai Hatim! Apakah kamu melaksanakan shalat dengan
baik?” Dia menjawab, “Iya.” Isham bertanya lagi, “Bagaimana tata caramu
melaksanakan shalat?” Hatim al-Asham menjawab, “Saya berdiri berdasarkan
perintah, saya berjalan dengan rasa khasyyah (takut kepada
Allah), saya masuk (ke dalam shalat) dengan niat, saya bertakbir dengan
mengagungkan, saya membaca Alquran dengan tartil dan memikirkan artinya,
saya melakukan ruku’ dengan khusyuk, saya bersujud dengan tawadhu, saya
duduk tasyahhud dengan sempurna, saya mengucap salam dengan berniat,
saya mengakhiri shalat dengan ikhlash kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya kembali pada diri sendiri dengan rasa takut, saya takut bila Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak menerima shalatku. Saya menjaganya dengan susah payah sampai
mati.” Isham berkata, “Ya sudah, bicaralah. Engkau melaksanakan shalat
dengan baik.”
Juha sedang pergi ke pasar untuk membeli keledai. Dia bertemu
temannya. Temannya bertanya, “Kamu mau pergi ke mana?” Juha menjawab,
“Ke pasar untuk membeli keledai.” Temannya berkata, “Katakanlah, ‘Insya
Allah’.” Juha menanggapi, “Hal ini bukan tempatnya mengucapkan insya
Allah. Di sakuku ada uang, sedangkan keledai ada di pasar.” Ternyata,
ketika dia telah berada di pasar, tiba-tiba uangnya dicuri orang. Dia
pun pulang dengan menyesal, lalu temannya bertanya kepadanya, “Hai Juha,
mana keledainya?” Dia menjawab, “Insya Allah, uangku dicuri orang.”
Ada seorang yang bodoh melihat ke sumur. Dia melihat wajahnya di
dalam sumur. Lalu dia kembali menemui ibunya, “Hai ibu, di dalam sumur
ada pencuri.” Lantas ibunya datang dan melihat sumur. Dia berkata, “Iya,
benar di dalam sumur ada pencuri beserta pelacur.” (ungkapan sindiran
atas kebodohan anaknya.)
Seorang laki-laki berkata kepada Hisyam al-Quthi, Kam ta’uddu
(Berapa kamu menghitung)?” Hisyam menjawab, “Dari satu sampai satu juta
bahkan lebih banyak lagi.” Dia berkata, “Bukan itu maksudku.” Hisyam
menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam tau’ddu minas sinni
(Berapa hitungan gigi)?” Hisyam menjawab, “Ada tiga puluh dua. Yang
enam belas di bagian atas dan enam belas lagi di bagian bawah.” Dia
berkata, “Bukan itu yang aku kehendaki dan aku maksud.” Hisyam
menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam laka minas sinin (Berapa banyak gigimu)?” Hisyam menjawab, “Saya tidak mempunyai sedikit pun. Semuanya milik Allah ‘Azza wa Jalla.” Dia berkata lagi, “Fa ma sinnuka (Apa gigimu)?” Hisyam menjawab, “Tulang.” Dia berkata lagi, “Faibnu kam anta (kamu ini anak berapa orang)?” Hisyam menjawab, “Anak dua roang, yaitu Ayah dan Ibu.” Dia berkata lagi, “Fa kam ata alaika (berapa banyak yang membinasakanmu)?” Hisyam menjawab, “Katakanlah, ‘Kam Madha min umrika (Berapa banyak umurmu yang telah berlalu)’?”
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai keinginan kuat
untuk shalat berjamaah. Kemudian ada salah seorang yang tidak ikut
shalat berjamaah memasuki rumahnya, dan menzinai istri pemilik rumah
tersebut. Tiba-tiba ada anjing yang melompat menyerang keduanya sehingga
keduanya mati. Kemudian pemilik rumah pulang dan mendapati keduanya
telah tidak bernyawa.
Lantas dia mendendangkan syair berikut:
Anjing selalu memelihara tanggung jawabnya kepadaku, melindungiku, dan menjaga janjiku.
Sedangkan kekasih malah berkhianat.
Sungguh heran, seorang kekasih malah merusak kehormatanku
Dan sungguh heran terhadap anjing bagaimana ia dapat menjaga
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berbincang-bincang dengan seseorang. Beliau bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Jamrah (bara api).” Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Anaknya siapa?” “Anak Syihab (cahaya api)” jawabnya. Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kamu dari golongan siapa?” Dia menjawab, “Dari Hurqah (kebakaran).” Umar radhiyallahu ‘anhu
bertanya lagi, “Di mana tempat tinggalmu?” Dia menjawab, “Di daerah
Harratin Nar (panasnya api).” Tepatnya di sebelah mana, “Di daerah Dzati
Lazha (yang mempunyai nyala api).” Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Segera susul keluargamu. Mereka mengalami kebakaran.” Lelaki
itupun bergegas menuju ke rumahnya. Dan ternyata memang terjadi seperti
apa yang disampaikan Umar radhiyallahu ‘anhu.
Al-Ahsmu’i berkata, “Saya pernah berkata kepada seorang anak muda
dari kalangan anak-anak Arab, ‘Apakah kamu senang jika kamu mempunyai
seratus ribu dirham, tetapi kamu bodoh?” Dia menjawab, “Demi Allah,
tidak.” Saya bertanya lagi, “Mengapa?” Dia menjawab, “Saya khawatir
kebodohanku berbuat jahat kepadaku, sehingga hartaku lenyap dan tinggal
bodohnya saja.”
Hakim berkata, “Jauhilah tujuh perkara, niscaya ragamu dan hatimu
akan merasa lega. Di samping itu, kehormatanmu dan agamamu akan selamat.
Janganlah engkau bersedih atas sesuatu yang hilang dari dirimu.
Jangan memikul kesedihan atas sesuatu yang belum terjadi.
Janganlah engkau mencela orang atas sesuatu yang ada pada dirimu yang sama dengan orang lain.
Jangan engkau minta imbalan atas sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan.
Janganlah engkau marah kepada orang yang tidak terpengaruh dengan kemarahanmu.
Janganlah engkau memuji orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya tidak sesuai dengan apa yang dipujikan kepadanya.”
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tiada
suatu musibah yang menimpaku melainkan aku melihat ada tiga hikmah di
baliknya yang merupakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepadaku. Pertama, musibah ini tidak terkait dengan agamaku. Sebab,
musibah mengenai agama merupakan musibah besar. Terkadang dengan musibah
ini seseorang merugi di dunia dan akhirat. Kedua, musibahnya tidak
lebih besar dari itu. Tidak ada satu pun musibah melainkan ada yang
lebih besar lagi. Ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kesabaran kepadaku untuk menghadapinya. Sungguh, kesabaran dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan penyumbat rasa aman yang dapat meringankan musibah yang menimpa.”
Seorang lelaki thufaili (orang yang suka ikut-ikutan dalam
suatu jamuan makan tanpa diundang) melihat serombongan orang yang sedang
bepergian. Dia mengira bahwa rombongan tersebut hendak menghadiri
undangan walimah (jamuan makan). Dia pun mengikuti mereka. Selidik punya
selidik, ternyata mereka adalah rombongan penyair yang hendak
mendatangi raja. Ketika masing-masing penyair telah mendendangkan
syairnya dan mengambil hadiahnya, maka tersisalah lelaki thufaili tadi.
Dia hanya duduk terdiam. Lalu dikatakan kepadanya, “Ayo dendangkan
syairmu!” Dia menjawab, “Saya bukan seorang penyair.” Dia ditanya, “Lalu
kamu siapa?” Dia menjawab, “Termausk orang-orang yang sesat,
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (QS. Asy-Syu’ara: 224)
Kontan sang raja tertawa atas jawaban tersebut. Dia memerintahkan agar lelaki tersebut juga diberi hadiah.
Al-Aqra’ bin Habis (salah satu amir di negeri Islam) menghadap Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata dia mendapati Umar radhiyallahu ‘anhu
sedang bermain dengan anak-anaknya. Anak-anaknya bergantungan di
lengannya dan di atas punggungnya. Lantas al-Aqra bertanya, “Apa-apaan
ini, wahai Amirul Mukminin? Apakah memang seperti ini yang Anda lakukan
bersama anak-anak Anda?” Umar bangun dan bertanya kepada al-Aqra’, “Hai
al-Aqra’, kamu sendiri apa yang kamu lakukan di rumah?” Dia menjawab,
“Ketika aku masuk rumah, orang yang berdiri langsung duduk, orang yang
berbicara langsung diam, dan orang yang tidur langsung bangun. Saya
mempunyai sepuluh anak, tetapi saya tidak pernah mencium satu pun dari
mereka.” Lantas Umar berkata, “Kalau begitu kamu tidak layak menjadi
penguasa bagi kaum muslimin.” Selanjutnya Al-Aqra dipecat.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
No comments:
Post a Comment