....Wangi Bunga menyebar hanya mengikuti arah angin, tetapi Kebaikan seseorang menyebar ke semua arah.... ....Tegakkan Kebenaran di muka bumi dan tebarkan Kebaikan serta Cinta Kasih kapanpun dan dimanapun kita berada.....
Tuesday, December 24, 2013
Syaikh Al-Albani Naik Sepeda
13
Syaikh al-Albani -rahimahullah- bercerita:
“Setelah aku membeli sebidang tanah di luar kota, karena harga tanah di sana murah, aku langsung membangun sebuah rumah lengkap dengan toko. Setelah semuanya beres, aku baru sadar bahwa jarak antara rumahku dengan perpustakaan azh-Zhahiriyyah yang sering aku kunjungi lumayan jauh. Dahulu aku bekerja satu atau dua jam di tokoku sebelum perpustakaan itu dibuka.
Kemudian aku membeli sebuah sepeda, sementara itu baru pertama kali penduduk kota
Damaskus menyaksikan pemandangan langka seperti ini, yakni seorang Syaikh bersorban naik sepeda. Wajar saja mereka langsung heran dengan pemandangan ini. Dan pada waktu itu juga ada sebuah majalah yang bernama al-Mudhhik al-Mubkî (lucu yang membuat nangis), yang diterbitkan oleh seorang nasrani. Ternyata dia memasukkan pengalaman ini di majalahnya. Tetapi aku tidak peduli dengan hal remah seperti ini, karena yang paling penting bagiku adalah waktu.”
Sumber: Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 47, hlm.51
Syair Rindu Istri Shalehah
0
Jarir bin Hazim berkata dari Ya’la bin Hakim, dari Sa’id bin Jubair. Sa’id mengatakan, “Jika sudah tiba petang hari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu biasa berkeliling Kota Madinah. Jika melihat sesuatu yang harus diingkari, maka dia mengingkarinya. Suatu malam tatkala sedang meronda, dia melewati seorang wanita di rumahnya yang berkata,
Malam ini terasa panjang dan gelap gulita
Hatiku pilu karena tiada kekasih mendampingi
Andaikan bukan karena Allah yang tiada Rabb selain-Nya
Tentu masih ada kehidupan di ranjang ini
Aku takut kepada-Nya dan ada rasa malu menghantui
Kan kujaga kehormatan suami semoga dia cepat kembali
Setelah itu wanita tersebut menghela nafas dalam-dalam, seraya berkata, “Mestinya apa yang kualami pada malam ini merupakan masalah yang amat remeh bagi Umar bin Khattab.”
Umar mengetuk pintu rumah wanita tersebut. “Siapa yang mengetuk pintu rumah wanita yang ditinggal pergi suaminya malam-malam seperti ini?” Wanita itu bertanya.
“Bukakan pintu!” kata Umar. Namun wanita itu menolak.
“Demi Allah, andaikata Amirul Mukminin mengetahui tindakanmu ini, tentu dia akan menghukummu.” Kata wanita itu setelah berkali-kali Umar meminta untuk dibukakakn pintu.
Setelah tahu kehormatan yang dijaga wanita itu, Umar berkata, “Aku adalah Amirul Mukminin.”
“Engkau pembohong. Engkau bukanlah Amirul Mukminin.”
Umar mengeraskan dan meperjelas suaranya, sehingga akhirnya wanita itu tahu bahwa memang dia adalah Umar. Maka dia membukakannya pintu.
“Wahai wanita, apa yang telah kau ucapkan tadi?” Tanya Umar.
Wanita itu mengulang lagi apa yang dia katakan. “Mana suamimu?” Tanya Umar.
“Ikut bergabung dalam pasukan perang ini dan itu.” Jawabnya.
Selanjutnya Umar mengutus seorang kurir agar Fulan bin Fulan (suami wanita itu) pulang dari medan perang. Setelah benar-benar kembali, Umar berkata kepadanya, “Temuilah istrimu!”
Kemudian Umar menemui putrinya, Ummul Mukminin Hafshah radhiallahu ‘anha, kemudian bertanya, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang wanita tahan berpisah dengan suaminya?”
“Bisa sebulan, dua bulan, atau tiga bulan. Setelah empat bulan dia tak mampu lagi bersabar.” Jawab Hafshah.
Maka selanjutnya jangka waktu itu menjadi ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. Hal ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan Allah dalam m.asalah ila’ (ila’: suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama empat bulan atau lebih). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa kesabaran wanita bisa menipis setelah empat bulan dan tidak mampu lagi bersabar setelah jangka waktu itu. Maka jangka waktu empat bulan itulah yang ditetapkan bagi laki-laki yang meng-ila’. Setelah masa itu, dia bisa menyuruh istrinya untuk memilih tetap mempertahankan perkawinan atau cerai. Setelah empat bulan, tentu kesabarannya menjadi melemah, sebagaimana yang dikatakan penyair,
Tatkala kuseru tangis dan kesabaran
Setelah di antara kita ada perpisahan
Dengan patuh tangis memberi jawaban
Dan tiada jawaban dari kesabaran
Sumber: Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Mustaqin oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
Pengaruh Teman Dalam Kehidupan
3
Pelajaran dari kisah persahabatan antara Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan persahabatan antara Ubaidullah bin Ziyad dengan Syamr bin Dzi al-Jausyan.
——————————————————————————————————————————————–
Islam sangat menaruh perhatian besar dalam masalah sosial, di antaranya dalam masalah pergaulan atau pertemanan. Islam menekankan agar seseorang memilih teman-teman yang baik, agar pengaruh baiknya membekas pada dirinya. Ketika seseorang berteman dengan seseorang yang shaleh, maka ia akan melihat adab-adab yang mulia, perkataan-perkataan santun dan baik, dan nasihat-nasihat pun akan keluar dari mulut sang teman apabila temannya yang lain melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perumpamaan pertemanan seperti ini telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
Dari Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ
مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk (sepergaulan) yang buruk adalah seperti pembawa misk (minyak wangi) dan pandai besi. Si pembawa misk mungkin akan memberimu (minyak wangi) atau engkau membeli minyak itu darinya atau engkau mendapatkan baunya yang harum. Sedangkan pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu atau kamu dapati bau yang busuk darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan teman yang buruk akan mendorong kita melakukan keburukan-keburukan atau batas minimalnya kita akan terbiasa melihat perbuatan maksiat, dan menghilangkan kebencian kita terhadap perbuatan dosa. Pertemanan seperti ini adalah perteman yang semu, semu di dunia ini, tidak langgeng, dan akan saling memusuhi di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. (QS. Az-Zukhruf: 67).
Berikut ini kita akan mengambil pelajaran dari perteman Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh pertemanan yang baik, yang membawa pahala, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dan yang lainnya adalah pertemanan Pemimpin Irak, Ubaidullah bin Ziyad bersama teman dekatnya Syamr bin Dzi al-Jausyan, sebagai contoh pertemanan yang buruk, yang saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan, serta mendekatkan keduanya kepada murka Allah.
Pertama, pertemanan Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahumallahu.
Saat Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah, ia mendekati orang-orang yang shaleh untuk ia jadikan teman dekat yang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Di antara orang tersebut adalah gubernurnya Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman menjadikan Umar sebagai teman dekat dengan beberapa alasan:
- Kepribadian Sulaiman sangat berbeda dengan saudaranya, al-Walid bin Abdul Malik, kahlifah sebelumnya. Al-Walid adalah seorang yang ujub, bangga terhadap dirinya sendiri, hanya percaya pada pendapatnya sendiri, sedangkan Sulaiman adalah seorang yang rendah hati, tidak ujub dan tidak membangga-banggakan dirinya.
- Sulaiman meyakini bahwa Umar mempunyai pendapat-pendapat yang benar dan lurus.
- Rasa terima kasih Sulaiman kepada sikap Umar tatkala al-Walid hendak menyingkirkan dirinya. Hal ini menimbulkan kedekatan secara personal di antara mereka berdua.
Ketika Sulaiman naik tahta menjadi khalifah, ia tidak melupakan kerabat sekaligus teman dekatnya Umar bin Abdul Aziz. Ia sering meminta nasihat dan tidak berkeberatan apabila diingatkan ketika pendapatnya tidak membuat maslahat.
Di antara contohnya Umar mempengaruhi Sulaiman untuk membuat kebijakan agar masyarakat menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan jangan sampai aktivitas mereka melalaikan dari ibadah yang agung ini (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal. 170). Umar memberi masukan kepada Sulaiman terhadap Hajjaj bin Yusuf dan kroni-kroninya agar meerka dibatasi dan tidak bertindak sewenang-wenang (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal: 169).
Sulaiman bin Abdul Malik juga terbuka dan menerima kritik. Umar bin Abdul Aziz mengkritik Sulaiman terkait surat wasiat Khalifah Abdul Malik tentang hak waris putri-putrinya. Sulaiman hendak melaksanakan wasiat sang ayah, Abdul Malik, yang menyatakan putri-putrinya tidak mendapatkan warisan.
Lalu Umar menyanggahnya, kata Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau meminta kitab Allah (sebagai putusan yang adil)?” Saat itu Ayyub bin Sulaiman menanggapi perkataan Umar, “Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut mengucapkan kata-kata yang karenanya lehernya dipenggal?” Maka Umar menanggapi, “Jika perkara ini diserahkan ke tanganmu, maka apa yang menimpa kaum muslimin lebih besar daripada apa yang engkau katakan.” Sulaiman lalu membela Umar dan memarahi Ayyub (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Hal: 31).
Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Mdinah, ia membagi-bagikan harta dalam jumlah yang besar kepada penduduk Madinah. Lalu ia bertanya kepada Umar, “Apa pendapatmu tentang apa yang telah kami lakukan wahai Abu Hafsh (kun-yah Umar)?” Umar menjawab, “Aku melihatmu membuat orang kaya semakin kaya dan membiarkan orang-orang miskin dengan kemiskinannya.” (at-Tarikh al-Islami, 15: 30-31).
Umar mengkritik sedekah yang dilakukan Sulaiman karena tidak tepat sasaran, dan penting bagi khalifah untuk membedakan antara sekedar berbuat baik biasa degan berbuat baik dengan cara tepat sasaran sehingga memiliki manfaat yang jauh lebih besar.
Di hari Arafah, Sulaiman dan Umar wukuf di Arafah. Sulaiman merasa bahagia dengan banyaknya umat Islam yang berkumpul memenuhi panggilan Allah. Saat itu Umar bin Abdul Aziz berkata kepadanya, “Mereka adalah rakyatmu hari ini, tetapi besok kamu akan ditanya tentang mereka.”
Dalam riwayat lain, “Mereka adalah orang-orang yang akan menuntutmu di hari kiamat.” Tiba-tiba Sulaiman menangis, nasihat Umar benar-benar menghujam di dadanya, ia berkata, “Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 685).
Inilah profil pertemanan yang bermanfaat, pertemanan yang saling mengajak kepada kebaikan, bahkan sebelum wafatnya Sulaiman menunjuk Umar sebagai khalifah agar amanah kepemimpinannya bisa meringankannya.
Berikutnya adalah contoh pertemanan yang buruk. Teman yang buruk akan mengajak temannya melakukan perbuatan dosa dan menjauhkannya dari Allah Ta’ala. Pertemanan antara Ubaidullah bin Ziyad dan Syamr bin Dzi al-Jausyan.
Di dalam Huqbah min at-Tarikh dikisahkan, saat terjadi kekacauan di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dimana Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah, hendak berangkat menuju Kufah (kota di Irak) untuk menyambut undangan penduduk Kufah yang siap membaiatnya sebagai khalifah.
Saat Husein hampir tida di Kufah, ia dicegat oleh pasukan-pasukan Kufah atas perintah Ubaidullah bin Ziyad. Awalnya Ubaidullah hanya akan melakukan apa yang Yazid perintahkan, yakni supaya Husein tidak memasuki Kufah demi menghindari terjadinya fitnah. Husein pun akhirnya menyadari bahwa penduduk Kufah telah menghianatinya, Husein mengajukan beberapa pilihan kepada pasukan Kufah; membiarkannya pulang ke Mekah atau Madinah, pergi menemui Yazid di Syam, atau membiarkannya pergi menuju daerah perbatasan. Saat keinginan ini disampaikan kepada Ubaidullah, ia menuruti apa yang diinginkan Husein, dan menghormatinya sebagai keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun apa yang baru saja diucapkan Ubaidullah seketika menjadi berubah saat mendengar masukan dari Syamr bin Dzi al-Jausyan. Kata Syamr, “Engkau seorang pemimpin, tapi dia (Husein) yang menentukan? Aneh sekali.” Lalu Syamr menyarankan, “Bawa dia kemari sebagai tahanan, lalu engkau yang tentukan setelah itu.”
Akhirnya pasukan diperintahkan untuk menahan Husein, dan membawanya ke Irak sebagai tahanan. Husein yang tidak menerima hal itu, karena seorang muslim memang tidak boleh dijadikan tawanan oleh muslim lainnya, terlebih dia adalah satu-satunya cucu Rasulullah yang hidup di muka bumi ini, kekerabatannya dengan Rasulullah sangatlah dekat, dan Rasulullah memerintahkan umatnya agar berbuat baik kepada keluarganya. Namun Ubaidullah sudah terlalu gelap untuk menerima hukum-hukum tersebut, pasukannya pun –yang terdiri dari orang-orang yang berhianat kepada Husein- menerima perintah tanpa memikirkan siapa yang mereka hadapi. Akhirnya Husein radhyiallahu ‘anhu terbunuh.
Inilah pengaruh teman yang buruk, sampai-sampai bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tidak hanya membuat gelap mata seseorang dari kemaksiatan-kemaksiatan kecil bahkan dosa besar pun tidak dirasakan lagi, dosa membunuh orang yang termasuk kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, hendaknya kita memilih teman-teman yang baik, yang menjauhkan kita dari bahaya dan perbuatan dosa. Dan mencari teman-teman yang shaleh, yang mempengaruhi kita untuk semakin taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Monday, November 11, 2013
Kisah Unik Mencari Buku Kuno
Kisah Unik Mencari Buku Kuno
(The Real Book Lover)
Hamba yang lemah, penulis buku ini berkata, “Pada masa-masa mencari
ilmu, aku hidup kekurangan seperti para penuntut ilmu lainnya. Aku
membeli buku-buku yang bisa aku beli dengan menyisihkan uang sakuku yang
tak seberapa, baik dengan cara kontan maupun cicilan jika memungkinkan.
Suatu hari aku melihat sebagian buku langka yang sangat penting bagiku.
Aku berhasrat memilikinya, akan tetapi aku sedang dalam kemiskinan yang
sangat. Sehingga tidak ada jalan untuk membelinya. Hati dan pikiranku
tidak tenang karenanya. Maka, aku menjual syal warisan dari bapakku,
semoga Allah merahmatinya, di Pasar Al-Harraj, lalu aku membeli
buku-buku tersebut. Setelah membelinya, hati dan pikiranku menjadi
tenang. Aku sangat bahagian bisa membeli dan memilikinya. Kebahagiaanku
itu melupakan diriku dari lenyapnya syal milikku. Segala puji bagi
Allah.
Terkadang aku bernadzar kepada Allah untuk menunaikan shalat sekiat rakaat jika aku mendapatkan buku tertentu. Aku pernah mengalami suatu peristiwa dalam urusan berburu buku. Aku mencatatnya di sini karena keunikannya, berikut ini kisahnya:
Ketika aku masih di Kairo menjadi mahasiswa pada Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, syaikh kami, Al-Allamah Imam Muhammad Zahid Al-Kautsari mewasiatkan kepadaku di sela-sela aku mengikuti kajian-kajiannya, agar aku memiliki buku Fath Babil Inayah bi Syarh Bukuin Nuqayah, karya Al-Allamah Syaikh Ali Al-Qari. Ia berulang-ulang mendorongku dengan sangat agar aku mendapatkan buku tersebut, karena ia mengetahui bahwa aku penggemar buku-buku langka yang bermanfaat. Aku menduga bahwa buku ini dicetak di India. Aku tinggal di Kairo selama 6 tahun sampai aku menyelesaikan kuliahku. Selama itu pula aku bertanya tentang buku tersebut.
Aku mencarinya di semua perpustakaan yang aku perkirakan buku itu ada padanya. Akan tetapi, aku tidak menemukan informasi atau jejak apa pun tentangnya.
Ketika aku pulang ke kotaku Halb, aku terus mencari buku tersebut di setiap kota yang aku kunjungi atau perpustakaan yang aku datangi. Karena aku menduganya dicetak di India, sementara ia termasuk buku-buku fiqih ulama Hanafi, maka aku bertanya kepada para penjual buku-buku cetakan India dalam masalah fiqih Hanafi secara Umum. Siapa tahu aku berhasil mendapatkannya dengan cara ini, karena bisa jadi mereka tidak mengetahui namanya. Di Damaskus terdapat banyak penjual buku kuno yang, tentunya mereka mengenali banyak buku kuno yang berharga. Mereka juga mempunyai banyak koleksi buku-buku kuno tersebut. Hanya saja mereka telah meninggikan harganya dan mempersulit penjualannya. Di antara mereka adalah Sayyid Azzat Al-Qushaibati dan bapaknya, Syaikh Hamdi As-Safarjali, dan Sayyid Ahmad Ubaid.
Aku bertanya kepada Sayyid Azzat Al-Qaushaibati tentang buku Fath Babil Inayah yang merupakan cetakan India. Ia menjawab, “Buku itu ada padaku.” Ia mengeluarkan buku Al-Binayah bi Syarhil Hidayah, karya Imam Al-Aini yang dicetak di India sejak satu abad yang lalu, yaitu tahun 1293 H, dalam 6 jilid yang sangat besar sekali. Buku ini termasuk buku-buku langka lagi berharga yang aku cari. Maka, aku membelinya dengan harga yang tidak mahal. Pasalnya, ia bukanlah buku yang aku maksudkan di awal, yang aku sebutkan namanya.
Kemudian aku bertanya kepada Syaikh Hamdi As-Safarjali tentang buku tersebut. Darinya aku mengetahui bahwa buku itu dicetak di Qazan, sebuah kota di Rusia, dan sebagaimana dikatakan bahwa ia lebih langka daripada kibrit ahmar (emas merah). Sepanjang hidup Syaikh dan kesibukannya dengan buku-buku, ia hanya memegang satu set dari buku tersebut. Ia telah menjualnya kepada Al-Allamah Al-Kautsari dengan harga paling mahal yang tidak terbayangkan. Pada saat itu juga aku mengetahui nama kota di mana buku tersebut dicetak. Harapanku untuk mendapatkannya semakin menipis!
Tatkala Allah memberiku kesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke rumah-Nya yang mulia pada tahun 1376 H. Pada saat memasuki Mekah Al-Mukarramah, aku berkeliling menanyakan buku tersebut di perpustakaan-perpustakaan yang ada di sana, dengan harapan, aku bisa mendapatkannya. Apalagi di sini banyak orang yang datang dari penjuru negeri, berharap mereka memiliki inforamsi, namun ternyata belum ada hasil.
Kemudian inayah Allah membawaku kepada seorang kolektor buku kuno yang terletak di sudut sebuah pasar sederhana di Mekah Al-Mukarramah. Ia adalah Syaikh Mushthafa bin Muhammad Asy-Syinqithi, semoga Allah menyeleamatkannya. Aku membeli beberapa buku darinya.
Aku bertanya kepadanya – dengan penuh keputusasaan – tentang buku tersebut. Ia mengatakan kepadaku, “Buku itu ada padaku selama satu minggu. Aku membelinya dari warisan seorang ulama Bukhara. Lalu, aku menjualnya kepada seorang laki-laki dari Bukhara pula, ia termasuk ulama dari daerah Thasyqand, dengan harga yang lumayan tinggi.” Aku hampir tak mempercayainya, hingga ia menjelaskan ciri-cirinnya dengan penjelasan yang membuktikan bahwa ia benar-benar mengetahui buku tersebut. Memang itulah buku yang aku buru dan aku cari sejak beberapa tahun terakhir ini.
Aku bertanya, “Siapa ulama Thasyqand yang membeli buku tersebut?” Si kolektor buku kuno itu mulai mengingat-ingat. Lalu, ia menyebut sebuah nama keapdaku, yaitu Syaikh Inayatullah Ath-Thasyqandi. Aku bertanya, “Di mana ia tinggal, atau tempat kerjanya, atau di mana aku bisa menemuinya?” Ia menjawab, “Aku tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu.” Aku bertanya lagi, “Bagaimana aku bertanya tentangnya?” Ia menjawab, “Tidak tahu.” Pada saat itu keputusasaanku untuk mendapatkannya atau untuk bertemu dengan pembeli semakin bertambah.
Setelah itu aku pergi bertanya tentang Syaikh Inayatullah kepada setiap orang Bukhara yang aku lihat di Masjidil Haram, atau pasar-pasar Mekah. Aku pergi ke madrasah-madrasah dan perkumpulan-perkumpulan yang katanya ada orang-orang Bukhara di sana, untuk menanyakan tentang Syaikh dari Bukhara tersebut. Bahkan, aku sampai pergi ke komplek-komplek perumahan yang ada di luar Mekah, ketika ada yang mengatakan kepadaku bahwa di sana ada orang-orang Bukhara. Namun, pertemuan dengan syaik yang aku harapkan tidak kunjung terwujud? Berapa banyak orang-orang Bukhara yang bernama Inayatullah di Mekah Al-Mukarramah?
Pencarian yang terus-menerus membawaku kepada Syaikh Abdul Qadir Ath-Thasyqandi Al-Bukhari As-Sa’athi di kompleks perumahan Jarwal di pinggiran Mekah. Aku bertanya kepadanya tentang Syaikh Ath-Thasyqandi. Ternyata ia mengenalnya dan menyebutkan nama aslinya kepadaku, yaitu Syaikh Mir Inayah Ath-Thasyqandi. Hanya saja ia tidak mengetahui tempat tinggalnya atau di mana bisa bertemu dengannya. Pada saat itu, aku benar-benar putus asa untuk bertemu dengan Syaikh yang memiliki buku Fath Babil Inayah.
Pada saat thawaf di Ka’bah yang agung, semoga Allah menambah kemuliaan dan keagungannya, aku selalu memohon kepada Allah Ta’ala agar membimbingku kepada orang yang kutuju dan memudahkanku memiliki buku tersebut. Aku terus mengulang-ulang doa dan permintaanku berkali-kali. Satu minggu telah berlalu – dan Allah Maha Mengetahuinya –, sementara pikiranku tidak pernah tentang terkait dengan pencarianku terhadap buku tersebut dan pemiliknya.
Sampai pada suatu hari, saat aku berjalan di Pasar Pintu Ziyadah dari pintu-pintu Masjidil Haram, seorang pedagang Damaskus yang lama tinggal di Mekah melihatku. Ia bernama Abu Arab. Ia memiliki tempat berdagang di sana sebelum perluasan Al-Haram. Ia pun memanggilku ke tempat berdagangnya saat melihatku berpenampilan dan berpakaian ala negeri Syam. Ia menanyakan kepadaku tentang negeri Syam dan penduduknya. Aku balik bertanya kepadanya – ia adalah seorang saudagar dari kota Damaskus, Syam – karena aku benar-benar menginginkan buku itu, yakni tentang syaikh dari Bukhara tersebut! Ia mengatakan kepadaku bahwa menantu Syaikh itu adalah suami dari anak perempuannya, yang ada di kios depan itu. Ia orang yang paling tahu tentangnya. Demi Allah, aku hampir-hampir tak mempercayainya hal itu karena saking bahagia dan gembiranya.
Aku segera pergi menemui si menantu Syaikh itu, lalu bertanya kepadanya tentang sang Syaikh. Ia merasa heran, dan balik bertanya kepadaku, “Apa yang membuatmu bertanya tentang beliau dan hendak menemuinya?” Kujawab, “Lebih dari seminggu ini, aku terus mencari sang Syaikh. Tunjukkanlah kepadaku di mana beliau, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Ia menunjukkan kepadaku rumah sang Syaikh yang berada di kompleks perumahan Al-Misfalah, di samping Qahwas Saqifah. Aku segera pergi menemui sang Syaikh berkali-kali, baik siang maupun malam, hingga aku bisa bertemu dengannya. Akhirnya, ia rela menjual buku tersebut kepadaku sesuai harga yang ia pilih dan ia inginkan. Bagiku, itu merupakan salah satu kebahagiaan sepanjang hidupku.
Allah telah memberiku nikmat, sehingga aku bisa menerbitkan juz pertama dari buku tersebut disertai revisinya. Aku memohon kepada Allah agar tetap memberiku nikmat, sehingga aku bisa menerbitkan sisanya dengan karunia dan kemuliaan-Nya.
Aku tutup pembahasan ini dengan menampilkan dua kisah secara komplit. Mayoritas pembahasan sebelumnya, telah tercakup dalam dua kisah ini. Oleh karena itu, aku mencantukannya di akhir lembaran-lembaran buku ini, karena kedua kisah tersebut telah masuk dalam mayoritas pembahasan sebelumnya.
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Cetakan:1: 2008
Hidayah Allah Datang Kepadaku
A.H (nama inisial) adalah wanita berumur dua puluh tahun. Allah menginginkan kebaikan kepadanya, maka ia memberikan taufik dan hidayah kepadanya.
Ia menuturkan kisahnya:
Dahulu kehidupanku seperti kehidupan jahiliyah. Walaupun aku anak dari orang tua yang taat dalam melaksanakan ajaran Islam, namun saat itu aku tidak menjaga waktu-waktu shalat, hingga shalat subuh aku lakukan pada jam sepuluh.
Saudara-saudaraku begadang pada bulan Ramadhan untuk melakukan Qiyamullail (shalat malam) dan membaca Alquran, sedangkan aku menghidupkan malamku dengan menonton acara yang dimurkai Allah.
Pada suatu malam aku bermimpi sedang bermain dengan teman-temanku –yang buruk perangainya- seperti biasanya, tetapi tiba-tiba di hadapan kami lewat sekelompok orang yang membawa jenazah. Aku pun melihat kearah jenazah itu, sedangkan teman-temanku berusaha mengalihkan perhatianku dari jenazah itu. Aku berusaha mengikuti jenazah itu namun tidak bisa, lalu aku berlari dan terus berlari hingga aku menyusul jenazah itu. Ketika melewati jalan yang sukar dilalui aku tidak mampu meneruskan perjalanan, lalu aku menemukan kamar kecil yang gelap, maka aku memasukinya dan bertanya, “Tempat apa ini?”
Mereka berkata kepadaku, “Ini adalah kuburanmu. Inilah tempat kembalimu. Di sinilah umurmu berakhir.”
Aku lalu berteriak dengan suara yang keras. Rasanya aku ingin shalat dan ingin mengeluarkan air mata yang dapat menyelamatkanku dari adzab Allah yang pedih namun kemudian suara yang berasal dari belakangku berkata: “Mustahil, mustahil, telah habis umurmu sedangkan kamu tenggelam dalam kelezatan.”
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku pada saat imam sedang melaksanakan shalat shubuh, dan ia membaca firman Allah Ta’ala:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَانَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
…
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)….” (QS. Al-Hadiid: 16)
Maha Suci Allah, perjalanan hidupku tercermin di hadapanku. Allah telah memberikan nikmatnya kepadaku agar aku bertobat kepada-Nya sebelum wafat, maka segala puji dan sanjungan hanya untuk Allah.
(Sumber: Air Mata Wanita yang Bertobat, karya majdi asy-Syahawi, pustaka cendekia sentra muslim, hal: 193. Diposting oleh Najib M. Fattah)
Yang Membuat Pemuda ini Menangis
Apa yang Membuat Pemuda ini Menangis?
Saya melakukan perjalanan pulang setelah melakukan safar yang cukup lama. Setelah mengambil posisi di pesawat, qadarullah, posisiku di dekat sekelompok pemuda yang doyan hura-hura. Ketika tertawa dibuat terbahak-bahak, dan terlalu banyak bersenda gurau. Tempat itupun penuh dengan bau rokok mereka.
Ketika itu, pesawat penuh penumpang, sehingga tidak memungkinkanku untuk berpindah tempat. Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, biar aku bisa istirahat. Sesak rasanya duduk bersama mereka. Aku hanya bisa menenangkan pikiranku dengan mengeluarkan mushaf dan membaca Al-Quran dengan suara pelan.
Beberapa saat kemudian, kondisi mulai tenang. Ada diantara pemuda ramai itu mulai membaca koran, ada yang sudah mulai tidur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan salah satu pemuda yang hura-hura duduk di sampingku: cukup..cukup…! Saya mengira dia merasa terganggu dengan suaraku. Akupun minta maaf, dan melanjutkan baca Al-Quran dengan suara pelan yang hanya bisa kudengar.
Tiba-tiba orang itu menutupi wajahnya dengan tangannya, kepalanya naik turun, maju mundur, dengan respon kasar dia memarahi saya: ‘Saya sudah minta kamu untuk diam, diam. Saya gak sabar!’ Diapun langsung pergi meninggalkan tempat duduknya, menghilang dari pandanganku. Sampai akhirnya dia kembali. Dia minta maaf, dan menyesali perbuatannya, kemudian tenang di tempat duduknya.
Saya tidak tahu, apa yg sedang terjadi. Tapi setelah tenang sejenak, dia melihat saya dan air matanya mengalir. Di situlah dia mulai bercerita:
Sudah kurang lebih tiga tahun, saya belum pernah meletakkan dahiku untuk sujud, saya tidak menyentuh sedikitpun satu ayat dalam Al-Quran. Sebulan ini saya melakukan traveling. Hampir semua maksiat telah aku cicipi dalam perjalanan ini.
Aku mendengar anda membaca Al-Quran. Terasa hitam dunia di wajahku. Sesak dadaku. Aku merasa sangat hina. Aku merasa semua ayat yang engkau baca menghantam jasadku, layaknya cambuk. Akupun bingung dan bertanya pada diriku: ‘Sampai kapan kelalaian ini akan kualami?’ ‘Kemana lagi aku harus melaju?’ ‘Setelah piknik penuh hura-hura ini apalagi yang harus aku lakukan?’ Lalu tadi aku ke toilet. Tahu kenapa? Saya ingin menangis sejadinya, dan tidak ada tempat yang terlihat manusia, selain toilet.”
Akupun menasehatinya untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Setelah itu dia terdiam. Ketika pesawat mendarat. Dia memintaku ngobrol sejenak. Seolah dia ingin menjauh dari kawan-kawannya. Semangat kesungguhan untuk bertaubat sangat kelihatan dari raut wajahnya. Dia bertanya: “Apa mungkin Allah akan menerima taubatku?” Kujawab dengan firman Allah, ‘Apakah anda pernah membaca firman Allah,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)
Dia mulai senyum kecil, senyum penuh harapan dan air matanya berlinangan. Dia menyampaikan kepadaku: “Saya janji, saya akan kembali kepada Allah.”
Pelajaran:
Manusia adalah makhluk lemah. Tak kuasa untuk bersih dari dosa dan maksiat. Ditambah dengan godaan pasukan iblis yang berusaha selalu menyeretnya ke dunia hitam. Tidak ada yang maksum kecuali para Nabi yang Allah lindungi dari dosa besar. Di saat yang sama, Allah membuka pintu taubat yang seluas-luasnya, agar mereka tidak putus asa dari rahmat Sang Pencipta. Tinggal satu yang perlu digugah: Kapan saatnya kita mau bertaubat?
Jika Allah sangat menyayangi kita, mengapa diri kita tidak menyayangi diri kita sendiri.
Dalam perjalanan pulang dari peperangan, kaum muslimin membawa kemenangan besar. Mereka pulang dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Tiba-tiba ada seorang ibu diantara tawanan itu, yang kebingungan mencari anaknya. Sampai akhirnya ketemu dan dia susui. Melihat hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat,
أتروْن هذه طارحةً ولدَها في النار؟
“Mungkinkah wanita ini akan melemparkan anaknya ke api?”
Para sahabat spontan menjawab: “Demi Allah, tidak mungkin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menimpali:
الَلَّهُ أرحمُ بعباده مِن هذه بولدها
“Allah lebih menyayangi hamba-Nya, dari pada kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari).
Sumber: Tajarub Da’awiyah Najihah (Diterjemahkan Oleh ustadz Ammi Nur Baits)
Wednesday, November 6, 2013
Kejahatan, Kehinaan di Dunia dan Kegelapan di Akhirat
Dikisahkan bahwa ada beberapa pelayan raja yang menemukan anak kecil di jalan. Lantas mereka memungutnya. Raja memerintahkan mereka agar anak tersebut dirawat dan disatukan dengan keluarga raja. Raja pun menamainya Ahmad al-Yatim. Ketika anak tersebut mulai tumbuh dewasa, nampak pada dirinya tanda-tanda kepandaian dan kecerdasan. Lalu raja mendidiknya dan mengajarinya.
Tatkala sang raja hendak meninggal dunia, beliau mewasiatkan anak tersebut kepada putra mahkota. Raja menggabungkan anak tersebut kepada putra mahkota, memilihnya dan mengambil janji agar dia menjadi orang yang setia dan menjadi pelayan yang jujur. Setelah itu, dia memulai pekerjaannya.
Sehingga, dia menjadi kepala pelayan raja dan orang yang mengatur segala urusan istana.
Pada suatu hari raja memerintahkan agar dia mengambilkan seseuatu dari salah satu kamarnya. Dia pun bergegas untuk mengambilkan barang tersebut. Tiba-tiba dia melihat salah seorang dayang khusus raja bersama seorang pemuda dari kalangan pelayan kerajaan sedang berbuat kefasikan dan berbuat zina. Dayang itu memohon kepadanya agar merahasiakan kejadian itu.
Si dayang menjanjikan akan memberikan apa saja yang dia minta dan merayunya dengan menyerahkan dirinya. Tujuannya, agar si dayang selamat dari tindakannya (melaporkan kepada raja).
Lalu dia berkata kepada dayang tersebut, “Aku mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari berkhianat kepada raja dengan berbuat zina padahal beliau telah berbuat baik kepadaku.’ Kemudian dia meninggalkan dayang tersebut dan berlalu dengan tetap menyembunyikan rahasia tersebut. Akan tetapi, dayang tersebut merasa khawatir sendiri dan mengira bahwa Ahmad al-Yatim akan melaporkan perbuatannya kepada raja.
Dayang tersebut menunggu raja sampai beliau datang di istana. Kemudian dia menghadap raja sambil menangis dan mengadu. Lalu sang raja bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Si dayang menjawab bahwa Ahmad al-Yatim telah merayu dirinya bahkan dia memaksanya untuk berbuat zina.
Ketika sang raja mendengar hal tersebut, kontan beliau marah besar dan bertekad untuk membunuh Ahmad al-Yatim. Kemudian sang raja mengatur siasat untuk membunuhnya secara diam-diam, sehingga orang-orang tidak mengetahui pembunuhan tersebut serta penyebabnya. Dia berkata kepada anak buah seniornya, “Jika saya mengutus seseorang kepadamu dengan membawa nampan dan meminta kepadamu ini dan itu, maka penggallah kepalanya dan letakkan kepalanya pada nampan tersebut, lalu bawa potongan kepala itu kepadaku.” Anak buahnya pun menerima dan menyanggupinya.
Pada suatu hari raja memanggil Ahmad al-Yatim dan berkata kepadanya, “Temui fulan si pelayan dan katakan padanya, ‘Raja meminta ini dan itu.” Dia pun berangkat melaksanakan perintah raja tersebut.
Akan tetapi, di tengah jalan dia bertemu beberapa pelayan. Mereka ingin menjadikan Ahmad sebagai penengah di dalam suatu perkara yang terjadi di antara mereka. Ahmad al-Yatim meminta maaf dan berkata bahwa dia sedang mendapat tugas untuk melaksanakan perintah raja. Mereka berkata, “Kami akan mengutus seorang pelayan yang akan menggantikanmu untuk melaksanakan tugasmu.
Sehingga, engkau dapat memutuskan persoalan di antara kita.”
Ahmad al-Yatim mengabulkan permintaan mereka. Lantas mereka mengutus salah seorang di antara mereka, yaitu pemuda yang telah berbuat zina dengan si dayang. Ketika dia sampai, pimpinan pelayan menariknya ke tempat yang telah dipersiapkan kemudian dia memenggal lehernya secara tiba-tiba, lalu dia letakkan potongan kepala tersebut di atas nampan dan ditutupi. Kemudian dia membawanya ke hadapan raja.
Ketika sang raja melihat nampan tersebut, dengan segera dia membuka tutupnya, maka dia melihat potongan kepala bukan kepala Ahmad al-Yatim. Selanjutnya raja memanggil Ahmad al-Yatim dan menanyakan tentang apa yang telah dilakukannya. Lantas Ahmad menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian raja bertanya, “Apakah kamu tahu dosa pelayan ini?” Dia menjawab, “Iya. Dia telah melakukan ini dan itu bersama seorang dayang. Keduanya meminta saya dengan bersumpah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar saya merahasiakan berita ini.”
Ketika sang raja mendengar hal itu, maka beliau memerintahkan agar si dayang dibunuh juga. Beliau kembali mencintai dan memuliakan Ahmad al-Yatim seperti sedia kala. Demikianlah akibat memenuhi janji dan ujung dari khianat.
“Rencana yang jahat hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri. “ (QS. Fathir: 43)
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Ridha Manusia Itu Sesuatu Yang Tidak Mungkin Dicapai
Sering kita ketika melakukan suatu kebenaran, lalu kita khawatirkan perkataan orang; kalau saya pakai jilbab nanti dibilang ibu haji, kalau saya rajin ke masjid nanti dipanggil-panggil pak ustadz, akhirnya kita surut, langkah kita terhenti untuk melakukan kebenaran karena lebih memikirkan apa yang akan dikatakan orang. Padahal ketika kita melakukan perbuatan jelek dalam kaca mata syariat, kita pun tidak akan menuai pujian dari semua orang. Memakai baju kecil dan pendek, mungkin sebagian orang menyebut kita orang modern, tapi ada juga yang bilang kita tidak tahu malu dan dosa pun sudah pasti. Sebagaimana kisah berikut ini.
Juha dan anaknya berada di dua ujung yang saling berlawanan. Setiap kali sang ayah menyuruhnya melakukan sesuatu, maka dia menentangnya dengan berkata, “Apa kata orang-orang tentang kita jika kita melakukan hal itu?”
Juha, sang ayah ingin memberi pelajaran yang bermanfaat untuk anaknya, agar dia berpaling dari mencari ridha semua orang. Sebab, ridha semua orang merupakan ujung yang tak terjangkau. Lantas Juha naik keledai dan menyuruh anaknya agar berjalan di belakangnya.
Baru berjalan beberapa langkah, mereka melewati beberapa perempuan, lalu perempuan tersebut memanggil Juha, “Apa-apaan ini, hai lelaki! Apa di hatimu tidak ada rasa kasih sayang. Engkau enak-enakkan naik kendaraan sementara engkau biarkan anak kecil berlari kelelahan di belakangmu.”
Lalu juha turun dari keledainya dan menyuruh anaknya naik keledai. Mereka melewati sekelompok orang tua duduk di bawah terik matahari.
Salah seorang di antara mereka menepukkan kedua telapak tangannya. Pandangan orang-orang lainnya mengarah kepada ‘laki-laki bodoh’ yang berjalan kaki dan membiarkan anaknya naik kendaraan. Dia mencaci maki lelaki tersebut dengan ucapan, “Wahai laki-laki! Kamu berjalan kaki padahal kamu orang tua sementara kamu biarkan kendaraan untuk anak ini. Setelah itu kamu ingin mengajarinya malu dan tatakrama.”
Juha berkata kepada anaknya, “Apa kamu dengar itu? Kalau begitu mari kita naiki keledai ini bersama-sama.”
Mereka berdua pun naik keledai dan lewat di jalanan. Keduanya berpapasan dengan sekelompok orang yang dapat disebut anggota ‘organisasi penyayang binatang’. Mereka berteriak kepada Juha dan anaknya, “Apa kalian berdua tidak bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait dengan binatang kurus ini? Apa kalian tega menungganginya bersama-sama padahal timbangan kalian berdua lebih berat dari pada timabangan keledai?”
Juha dan anaknya pun turun dari keledai. Juha berkata, “Kamu dengarkan? Kalau begitu, ayo kita berdua berjalan kaki bersama dan kita biarkan keledai ini berjalan sendiri di depan kita agar kita terhindar dari omongan miring kaum lelaki, perempuan, dan pecinta binatang.”
Mereka berdua pun berjalan kaki sedangkan keledai berjalan sendiri di depan mereka. Lantas mereka berdua berpapasan dengan sekelompok orang buruk dan pandai. Mereka menjadikan Juha dan anaknya sebagai obyek gurauan dan ejekan.
Mereka berkata, “Demi Allah, sepantasnya keledai ini menaiki kalian berdua untuk mengistirahatkannya dari kelelahan di jalan.”
Selanjutnya Juha mendengar perkataan orang-orang ini, lalu dia dan anaknya menuju suatu pohon di jalan. Mereka berdua memotong dahan yang kuat dan mengikatkan keledai tersebut padanya.
Kemudian Juha memikul salah satu ujung dahan sedangkan anaknya memikul ujung yang lainnya.
Ketika mereka belum sampai berjalan beberapa langkah, ternyata di belakang mereka terdapat sekelompok orang tertawa karena melihat pemandangan yang tiada duanya ini yaitu ketika seseorang menggiring Juha, anaknya, dan keledainya ke tempat orang-orang gila (rumah sakit jiwa).
Ketika Juha sampai di rumah sakit jiwa, maka dia harus menjelaskan kepada anaknya inti dari uji coba yang telah sampai pada puncaknya ini. Lalu dia menoleh kepada anaknya seraya berkata, “Wahai anakku! Inilah akibat dari mendengar omongan orang dan melakukan sesuatu untuk mencari ridha semua orang.”
Hal ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh anak Juha dan menjadi sejarah buat kita.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Perdamaian di Hari Kiamat
Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,
“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk, tiba-tiba kami melihat beliau tersenyum sehingga gigi seri beliau terlihat. Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada beliau, ‘Apakah gerangan yang membuat Anda tersenyum wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ada dua laki-laki di kalangan umatku yang berlutut di hadapan Rabbul Izzah.
Salah satunya berkata, ‘Ya Rabb! Ambilkan (pahala) untukku atas kezhaliman yang dilakukan oleh saudaraku pada diriku.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Bagaimana engkau akan lakukan hal tersebut terhadap saudaramu, padahal tidak ada sedikit pun amal kebaikan yang masih tersisa pada dirinya.’ Dia berkata, ‘Hari itu adalah hari yang agung, hari-hari ketika orang-orang butuh agar dosa-dosanya dipikulkan.’
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada lelaki yang memohon tersebut, ‘Angkatlah pandangan matamu dan lihatlah!’ Dia pun mengangkat pandangan matanya. Dia berkata, ‘Ya Rabb! saya melihat beberapa kota dari emas dan gedung-gedung dari emas yang bermahkotakan mutiara. Untuk nabi siapakah ini semua, atau untuk orang jujur yang manakah ini semua, atau untuk orang yang mati syahid mana ini semua?’ Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, ‘Bagi orang yang memberikan tiketnya.’ Dia bertanya lagi, ‘Ya Rabb! Siapa yang dapat memiliki tiketnya?’ Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, ‘Kamu dapat memilikinya.’ ‘Dengan apa?’ lanjutnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Dengan memaafkan saudaramu.’ Dia berkata, ‘Sungguh, saya memaafkan saudaraku.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Peganglah tangan saudaramu! Bawalah dia masuk ke dalam surga!’
Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan ketika itu, ‘Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mendamaikan di antara kaum muslimin’.”
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi di dalam al-Ba’ts dan dia berkata bahwa hadits ini sanadnya shahih).
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan bahwa Hatim al-Asham pernah berkata kepada putra-putranya, “Saya hendak pergi haji.” Putra-putranya pun menangis seraya berkata, “Lantas siapa yang akan menanggung kami?” Beliau juga mempunyai seorang anak perempuan. Kemudian anak perempuan tersebut menanggapi, “Biarkanlah ayah pergi. Beliau bukanlah Dzat Yang Maha Memberi rezeki.” Akhirnya Hatim pun berangkat.
Ternyata semalaman anak-anak tersebut kelaparan. Mereka pun mendamprat sang anak perempuan. Lalu anak perempuan pun berdoa, “Ya Allah, janganlah engkau membuatku malu di depan mereka!” Tiba-tiba seorang penguasa suatu daerah melewati mereka.
Dia berkata kepada sebagian anak buahnya, “Carikan air untukku!” Lalu keluarga Hatim memberikan gelas baru dan air dingin, dan sang penguasa itupun meminumnya. Kemudian si penguasa tersebut bertanya, “Rumah siapa ini?” Mereka menjawab, “Rumah Hatim al-Asham.” Lalu penguasa tersebut melemparkan sabuk emas sambil berkata, “Barangsiapa senang denganku, maka ikuti aku!” Para prajuritnya pun melemparkan benda-benda yang dibawa mereka ke suatu wadah. Anak perempuan tersebut menangis, lalu ibunya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan pada kita.” Dia menjawab, “Hanya karena makhluk yang melihat kita saja, mereka telah mencukupi kita maka bagaimana Sang Khaliq yang melihat kita?”
Ibnu Ubbad ash-Shairafi al-Baghdad mengisahkan, “Suatu ketika saya sedang tidur. Tiba-tiba ada seseorang berkata kepadaku di dalam mimpi, ‘Wahai Ubbad! Tolonglah orang yang teraniaya!’ Saya bertanya, ‘Di mana orangnya?’ Dikatakan kepadaku, “Tunggangilah kendaraanmu. Orang tersebut di tempat kendaraanmu berhenti.’ Lalu saya terbangun dari tidurku. Kemudian saya menunggangi kendaraanku. Saya melintasi sela-sela jalan sempit kota Baghdad sehinga saya sampai di suatu masjid, tiba-tiba kendaraan saya berhenti. Saya pun turun dari kendaraan dan masuk ke dalam masjid.
Ternyata di dalamnya ada seorang laki-laki menghadap ke arah kiblat. Lantas saya mengucapkan salam keapdanya dan berkata, ‘Apa yang bisa saya bantu untukmu?’ Dia menjawab, ‘Saya mempunyai keluarga. Dan malam ini tidak ada sesuatu pun buat mereka. Makanya, saya duduk di sini memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi kelapangan.’ Ubbad melanjutkan kisahnya. ‘Lalu saya memberinya seratus dinar dan saya berkata kepadanya, ‘Saya Ubbad ash-Shairafi. Jika kamu butuh sesuatu, datanglah padaku.’ Lelaki tersebut berujar, ‘Subhanallah, saya meninggalkan Dzat yang membangunkanmu dari tempat tidurmu dan mendatangkan kepadaku di malam yang gelap, justru aku menghadap kepada selain-Nya.’ Selanjutnya saya berpamitan kepadanya dan saya pulang.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Yang Langka, Jenaka, dan Pilihan
Seorang yang miskin meminta kepada orang pedalaman agar kebutuhannya dipenuhi. Orang pedalaman tersebut berkata, “Saya tidak mempunyai apa pun untuk diberikan kepada orang lain. Harta yang saya punya, saya sendirilah yang paling berhak menggunakannya. Si peminta berkata, “Di manakah orang-orang yang mengutamakan (orang lain) daripada dirinya sendiri?” Orang pedalaman pun menimpali. “Mereka pergi bersama orang-orang yang tidak meminta secara paksa kepada orang lain.”
Ada orang bodoh –dia menghindari ghibah (menggunjing)- saking menghindarinya, ia pun menjadi orang yang berlebihan. Ia ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang iblis?” Dia menjawab, “Saya sering mendengar pembicaraan mengenai Iblis. Allah yang Maha Mengetahui rahasia iblis.
Seorang laki-laki berangkat untuk berjuang di jalan Allah. Dia meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ada sebagian perempuan yang lemah iman berkata kepada istri pejuang tersebut, “Wahai ibu yang miskin! Siapa orang yang akan membiayai keluargamu serta merawat anak-anakmu jika ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan suamimu meninggal dunia dan tercatat sebagai orang yang mati syahid?” Perempuan mukminah itu pun berkata lantang dengan penuh kemantapan, keimanan, dan ketenangan, “Sungguh, yang saya tahu suamiku adalah tukang makan. Saya tidak mengenal dia sebagai pemberi rezeki. Jadi, apabila tukang makan meninggal dunia, maka Sang Pemberi Rezeki masih tetap hidup.”
Pada suatu hari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu terdiam di depan Ka’bah, lalu dia berkata kepada para sahabatnya, “Bukankah jika seseorang hendak melakukan perjalanan, pastinya dia mempersiapkan bekal?” Mereka menjawab, “Iya, benar.” Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Padahal perjalanan akhirat lebih jauh daripada perjalanan kalian ini.” Mereka pun berkata, “Tunjukkan kepada kami bekal untuk ahirat!” Dia berkata, “Lakukanlah ibadah haji untuk menghadapi hal-hal besar, laksanakanlah shalat dua rakaat di malam yang gelap untuk menghadapi kesulitan di alam kubur, dan berpuasalah pada hari yang sangat terik untuk menghadapi lamanya hari kiamat.”
Al-Jahizh, seorang penulis, ahli sastra Arab terkenal adalah seorang yang buruk rupa, tetapi dia sombong meskipun tentang fisiknya. Al-Jahizh pernah bercerita mengenai dirinya sendiri. Dia berkata, “Saya pernah berdiri di depan pintu rumahku, lalu ada seorang perempuan yang menghampiriku.” Perempuan tersebut berkata, “Saya butuh kepadamu. Saya ingin engkau ikut bersamaku untuk suatu kepentingan.” Al-Jahizh melanjutkan ceritanya, “Saya pergi bersamanya sehingga kami sampai ke toko emas. Lalu perempuan tersebut berkata kepada tukang emas, ‘Seperti ini,’ sambil menunjuk ke arahku. Kemudian dia meninggalkanku dan pergi. Lalu saya bertanya kepada tukang emas, ‘Apa maksud dari perkataan perempuan tersebut?” Tukang emas menjelaskan, “Perempuan tersebut pernah membawa batu mata cincin kepadaku dan menyuruhku agar aku melukiskan gambar setan di atasnya, lalu saya berkata kepadanya, “Wahai nona! Saya belum pernah melihat setan sama sekali.’ Lantas dia datang lagi membawamu dan mengatakan apa yang telah kamu dengar tadi.”
Isham bin Yusuf melewati Hatim al-Asham di majelis pengajiannya, lalu Isham bertanya, “Wahai Hatim! Apakah kamu melaksanakan shalat dengan baik?” Dia menjawab, “Iya.” Isham bertanya lagi, “Bagaimana tata caramu melaksanakan shalat?” Hatim al-Asham menjawab, “Saya berdiri berdasarkan perintah, saya berjalan dengan rasa khasyyah (takut kepada Allah), saya masuk (ke dalam shalat) dengan niat, saya bertakbir dengan mengagungkan, saya membaca Alquran dengan tartil dan memikirkan artinya, saya melakukan ruku’ dengan khusyuk, saya bersujud dengan tawadhu, saya duduk tasyahhud dengan sempurna, saya mengucap salam dengan berniat, saya mengakhiri shalat dengan ikhlash kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya kembali pada diri sendiri dengan rasa takut, saya takut bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalatku. Saya menjaganya dengan susah payah sampai mati.” Isham berkata, “Ya sudah, bicaralah. Engkau melaksanakan shalat dengan baik.”
Juha sedang pergi ke pasar untuk membeli keledai. Dia bertemu temannya. Temannya bertanya, “Kamu mau pergi ke mana?” Juha menjawab, “Ke pasar untuk membeli keledai.” Temannya berkata, “Katakanlah, ‘Insya Allah’.” Juha menanggapi, “Hal ini bukan tempatnya mengucapkan insya Allah. Di sakuku ada uang, sedangkan keledai ada di pasar.” Ternyata, ketika dia telah berada di pasar, tiba-tiba uangnya dicuri orang. Dia pun pulang dengan menyesal, lalu temannya bertanya kepadanya, “Hai Juha, mana keledainya?” Dia menjawab, “Insya Allah, uangku dicuri orang.”
Ada seorang yang bodoh melihat ke sumur. Dia melihat wajahnya di dalam sumur. Lalu dia kembali menemui ibunya, “Hai ibu, di dalam sumur ada pencuri.” Lantas ibunya datang dan melihat sumur. Dia berkata, “Iya, benar di dalam sumur ada pencuri beserta pelacur.” (ungkapan sindiran atas kebodohan anaknya.)
Seorang laki-laki berkata kepada Hisyam al-Quthi, Kam ta’uddu (Berapa kamu menghitung)?” Hisyam menjawab, “Dari satu sampai satu juta bahkan lebih banyak lagi.” Dia berkata, “Bukan itu maksudku.” Hisyam menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam tau’ddu minas sinni (Berapa hitungan gigi)?” Hisyam menjawab, “Ada tiga puluh dua. Yang enam belas di bagian atas dan enam belas lagi di bagian bawah.” Dia berkata, “Bukan itu yang aku kehendaki dan aku maksud.” Hisyam menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam laka minas sinin (Berapa banyak gigimu)?” Hisyam menjawab, “Saya tidak mempunyai sedikit pun. Semuanya milik Allah ‘Azza wa Jalla.” Dia berkata lagi, “Fa ma sinnuka (Apa gigimu)?” Hisyam menjawab, “Tulang.” Dia berkata lagi, “Faibnu kam anta (kamu ini anak berapa orang)?” Hisyam menjawab, “Anak dua roang, yaitu Ayah dan Ibu.” Dia berkata lagi, “Fa kam ata alaika (berapa banyak yang membinasakanmu)?” Hisyam menjawab, “Katakanlah, ‘Kam Madha min umrika (Berapa banyak umurmu yang telah berlalu)’?”
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai keinginan kuat untuk shalat berjamaah. Kemudian ada salah seorang yang tidak ikut shalat berjamaah memasuki rumahnya, dan menzinai istri pemilik rumah tersebut. Tiba-tiba ada anjing yang melompat menyerang keduanya sehingga keduanya mati. Kemudian pemilik rumah pulang dan mendapati keduanya telah tidak bernyawa.
Lantas dia mendendangkan syair berikut:
Anjing selalu memelihara tanggung jawabnya kepadaku, melindungiku, dan menjaga janjiku.
Sedangkan kekasih malah berkhianat.
Sungguh heran, seorang kekasih malah merusak kehormatanku
Dan sungguh heran terhadap anjing bagaimana ia dapat menjaga
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berbincang-bincang dengan seseorang. Beliau bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Jamrah (bara api).” Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Anaknya siapa?” “Anak Syihab (cahaya api)” jawabnya. Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kamu dari golongan siapa?” Dia menjawab, “Dari Hurqah (kebakaran).” Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Di mana tempat tinggalmu?” Dia menjawab, “Di daerah Harratin Nar (panasnya api).” Tepatnya di sebelah mana, “Di daerah Dzati Lazha (yang mempunyai nyala api).” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Segera susul keluargamu. Mereka mengalami kebakaran.” Lelaki itupun bergegas menuju ke rumahnya. Dan ternyata memang terjadi seperti apa yang disampaikan Umar radhiyallahu ‘anhu.
Al-Ahsmu’i berkata, “Saya pernah berkata kepada seorang anak muda dari kalangan anak-anak Arab, ‘Apakah kamu senang jika kamu mempunyai seratus ribu dirham, tetapi kamu bodoh?” Dia menjawab, “Demi Allah, tidak.” Saya bertanya lagi, “Mengapa?” Dia menjawab, “Saya khawatir kebodohanku berbuat jahat kepadaku, sehingga hartaku lenyap dan tinggal bodohnya saja.”
Hakim berkata, “Jauhilah tujuh perkara, niscaya ragamu dan hatimu akan merasa lega. Di samping itu, kehormatanmu dan agamamu akan selamat.
Janganlah engkau bersedih atas sesuatu yang hilang dari dirimu.
Jangan memikul kesedihan atas sesuatu yang belum terjadi.
Janganlah engkau mencela orang atas sesuatu yang ada pada dirimu yang sama dengan orang lain.
Jangan engkau minta imbalan atas sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan.
Janganlah engkau marah kepada orang yang tidak terpengaruh dengan kemarahanmu.
Janganlah engkau memuji orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya tidak sesuai dengan apa yang dipujikan kepadanya.”
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tiada suatu musibah yang menimpaku melainkan aku melihat ada tiga hikmah di baliknya yang merupakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku. Pertama, musibah ini tidak terkait dengan agamaku. Sebab, musibah mengenai agama merupakan musibah besar. Terkadang dengan musibah ini seseorang merugi di dunia dan akhirat. Kedua, musibahnya tidak lebih besar dari itu. Tidak ada satu pun musibah melainkan ada yang lebih besar lagi. Ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kesabaran kepadaku untuk menghadapinya. Sungguh, kesabaran dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan penyumbat rasa aman yang dapat meringankan musibah yang menimpa.”
Seorang lelaki thufaili (orang yang suka ikut-ikutan dalam suatu jamuan makan tanpa diundang) melihat serombongan orang yang sedang bepergian. Dia mengira bahwa rombongan tersebut hendak menghadiri undangan walimah (jamuan makan). Dia pun mengikuti mereka. Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah rombongan penyair yang hendak mendatangi raja. Ketika masing-masing penyair telah mendendangkan syairnya dan mengambil hadiahnya, maka tersisalah lelaki thufaili tadi. Dia hanya duduk terdiam. Lalu dikatakan kepadanya, “Ayo dendangkan syairmu!” Dia menjawab, “Saya bukan seorang penyair.” Dia ditanya, “Lalu kamu siapa?” Dia menjawab, “Termausk orang-orang yang sesat, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (QS. Asy-Syu’ara: 224)
Kontan sang raja tertawa atas jawaban tersebut. Dia memerintahkan agar lelaki tersebut juga diberi hadiah.
Al-Aqra’ bin Habis (salah satu amir di negeri Islam) menghadap Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata dia mendapati Umar radhiyallahu ‘anhu sedang bermain dengan anak-anaknya. Anak-anaknya bergantungan di lengannya dan di atas punggungnya. Lantas al-Aqra bertanya, “Apa-apaan ini, wahai Amirul Mukminin? Apakah memang seperti ini yang Anda lakukan bersama anak-anak Anda?” Umar bangun dan bertanya kepada al-Aqra’, “Hai al-Aqra’, kamu sendiri apa yang kamu lakukan di rumah?” Dia menjawab, “Ketika aku masuk rumah, orang yang berdiri langsung duduk, orang yang berbicara langsung diam, dan orang yang tidur langsung bangun. Saya mempunyai sepuluh anak, tetapi saya tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Lantas Umar berkata, “Kalau begitu kamu tidak layak menjadi penguasa bagi kaum muslimin.” Selanjutnya Al-Aqra dipecat.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Subscribe to:
Posts (Atom)