Wednesday, July 23, 2014

Cinta Menurut Kaum Sufi



Cinta diambil dari kata ‘habab’ (Gelembung air) yang selalu berada di atas air. Dikatakan demikian karena cinta merupakan puncak segalanya dalam hati.
Dikatakan pula bahwa Cinta itu berasal dari istilah ‘menetapi’. Jika dikatakan “dia mencintai unta, maka ia menetapi bersama unta dan tidak meningalkannya, seolah-olah orang yang jatuh cinta itu hatinya tidak pernah melupakan untuk mengingat kekasihnya.


Diceritakan bahwa kata ‘hubbu’ (cinta) diambil dari kata ‘al habbu’ sebagai bentuk plural dari kata ‘habbah’ (biji), sedangkan biji hati merupakan sesuatu yang berada dan menetap dalam hati. Dari sini cinta disebut benih (biji) karena Cinta adalah benih kehidupan.Kemudian Cinta itu disebut tiang karena Cinta menaggung kesenangan dan penderitaan.
Cinta merupakan suatu tempat yang berisi air. Tempat ini penuh dengan air dan tidak ada tempat untuk lainnya. Demikian jika hati telah penuh dengan Cinta, maka tiada tempat untuk selain kekasihnya.


Dikatakan bahwa Cinta mendahulukan kekasihnya daripada semua yang menyertainnya.


Dikatakan bahwa Cinta setia kepada kekasihnya, baik ketika berhadapan dengannya atau tidak.


Abu Yazid Al-Busthami berkata “Cinta menganggap sedikit pemberian yang ia keluarkan dan menganggap banyak pemberian kekasih walaupun sedikit.”


Sahal bin Abdullah berkata “Cinta itu merangkul ketaatan dan menentang kedurhakaan.”


Al-Junaid berkata “Cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya.”


Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari berkata “Cinta adalah kesetiaan”


Abu Abdullah Al-Quraisy berkata “Hakikat Cinta jika kamu memberi, maka kamu memberikan semua yang kamu miliki kepada orang yang kamu Cintai, tanpa tersisa sedikitpun untukmu.”


Dalf Asy-Syibli berkata berkata “Disebut Cinta Karena Cinta menghapus hati dari ingatan semua selain yang dicintainya.” 


Dalf Asy-Syibli berkata “Cinta, Jika kamu cemburu pada seorang kekasih, maka orang sepertimu adalah mencintainya.”


Ahmad bin Atha’ berkata “Cinta itu dahan-dahan yang ditancapkan dalam hati sehingga hati akan berbuah seperti kemampuan akal.”


Muhammad bin ali al-Kattani berkata “Cinta Harus lebih mengutamakan yang dicintai.”


“Cintamu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli” (HR Abu Dawud nomer 5130 dalam ‘Al-Adab’, Musnad Imam Ahmad 5 Halaman 194, dan 6 Halaman 450)Kata ‘hubbu’ terdiri dari dua huruf ; ha’ dan ba’. Isyarahnya bahwa orang yang Jatuh Cinta harus keluar dari ruh, badan dan hatinya  seperti kesepakatan suatu kaum yang mengatakan bahwa Cinta itu adalah kesetiaan. Kesetiaan yang paling nyata adalah kesetiaan dalam hati. Cinta harus tidak kontradiksi karena orang yang jatuh cinta akan selalu bersama orang yang dicintainya. Dengan demikian, maka terjadilah komunikasi,”“al mar-u man’a ihabba”, Seseorang akan bersama yang dicintainya. (HR Mutafaqun alaih)Demikian saya ringkas dari Terjemahan Risalah Al-Qusyairiyah bab Cinta Terbitan Pustaka Amani-Jakarta





Cinta Kaum Sufi



Ketika Ibn ‘Arabi, sufi besar ditanya “Apa agama Anda?”, diapun menjawab dengan penuh keyakinan, “Agama dan keimananku adalah Cinta”. Ketika ditanya apa itu “Cinta”, “..mungkin hanya selain pecinta sejati yang berani menjawabnya…” jawabnya ‘lirih”, lalu diapun berdendang ;


“Jika seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah, ia masih belum mengenalnya. Siapa pun mendefinisikan cinta, pasti belum mengenalnya. Siapa pun belum pernah merasakan seteguk saja air cinta, belum pernah mengenalnya. Siapa pun yang merasa kenyang karena meneggak air cinta, maka ia hanyalah orang yang menghibur diri. Ketahuilah, cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan pecandunya.”


“Cinta”, sebuah sebutan yang selalu terus abadi sepanjang sejarah.  Tidak hanya  paling banyak dibicarakan tetapi juga beragam tulisan, diskusi, disyairkan, didramakan dan sekaligus difilemkan. Cobalah melayari samudra, menempuh rimba dan menembus cakrawala, kita akan temukan pustaka dunia dipenuhi ribuan buku tentang cinta, klasik hingga kontemporer, mulai dari tema-tema aksiologi Yunani, karya-karya klasik para spiritualis hingga novel-novel ternama dunia, seperti Romeo and Juliet – Shakepare,  The House of The Spirit dan  Dracula-nya Bram Stokers.


Seorang teman (yang nge-ustadz/filsuf) pernah berusaha menjelaskan hakikat cinta dengan cara sederhana membaginya menjadi dua; cinta ilahi dan cinta insani.


Dalam setiap hembusan nafas kita, dalam setiap sel darah kita, dalam setiap unsur-unsur yang terkandung dalam butiran tanah, terdapat cinta Ilahi yang acapakali tidak kita sadari. Dengan rahman-Nya, Allah SWT telah menampakkan indahnya pelangi lewat kedua mata kita; dengan kasihNya yang tiada batas, memperdengarkan merdunya gemercik air.

Cinta kedua adalah cinta insani. Pada dasarnya, cinta ini juga timbul dari cinta Ilahi. Cinta laksana wujud, bahkan ia adalah wujud itu sendiri. Ia sangat terlihat gamblang, meski hakikatnya tersimpan di balik tirai misteri.


Tersembunyikah cinta? Lalu mengapa cinta begitu misterius? Cinta bukanlah esensi dan kategori yang dapat diuraikan sebagai produk dari komposisi genus dan diferensia. Ia adalah frase hanya bisa diperlakukan sebagai sebuah terma ontologis dan eksistensial. Cinta hanya dapat dihayati, namun tak dapat disifati. Setiap orang mampu merasakan cinta, namun mustahil mensifati atau mendefinisikannya. (Aaaaach puching… ujar temanku yg males mikir..!)Lalu bagaimanakah para sufi memandang “cinta”?  Kaum sufi membaginya menjadi dua; cinta natural dan cinta mistikal.


Cinta natural adalah cinta bersyarat, seperti cinta kita pada seorang sahabat karena ia bersikap baik terhadap kita. Sedang cinta mistikal tidak bersyarat. Ia cukup mencintai tapi tak butuh dicinta. Cinta ini laksana cinta ibu yang rela tidak tidur semalaman demi menemani anaknya yang sakit. Seorang ibu tak butuh balasan apakah kelak si anak membalas jerih payahnya atau tidak.


Kata Ibn al-Qayyim, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas. Cinta adalah cinta itu sendiri.” Bukankah memperjelaskan suatu yang sangat jelas berarti mengaburkannya. Seorang penyair berpuisi:


Setiap perkataanku bicara tentang cintaTatkala mendatanginya, daku tersipu maluBahasa mulut memang bisa menerangkanTapi cinta lebih terang tanpa kata-kata


Para sufi menganggap Allah SWT sebagai kekasih hakiki para pecinta sejati, kekasih-kekasih selain-Nya adalah jelmaan dari tajali-Nya. Cinta kepada tajalli-Nya dianggapnya sebagai cinta majazi yang secara vertikal menuju cinta sejatinya, yaitu Allah Swt. Para sufi percaya bahwa pada hakekatnya tidak ada suatu apapun kecuali eksistensi-Nya yang maha Esa. Semua makhluk adalah huruf-huruf yang terangkai indah dalam lembar wujud-Nya. Tintanya adalah cinta.


Cinta hanya bisa dipahami lewat pengalaman personal. Namun hakikatnya mustahil direngkuh hanya dengan sekali percobaan. Manusia tak mungkin mengarungi dan menggapai cinta sejati, karena cinta merupakan jalan tak berujung. Cinta tak pernah memuaskan pencandu yang selalu dicekik dahaga.Besarkah pengaruh cinta? Demi cinta, subjek rela meniadakan dirinya sembari menganggapnya sebagai puncak kesempurnaannya. Laron yang mati akibat tersengat api lampu yang dipujanya. Semut ternggelam dan terbenam dalam gula yang dicintainya. Bagi sebagian orang, cinta lebih dari sekedar bernyawa. Karena itulah, mereka mengutamakannya atas kehidupan. (Wooow…getoo lo!)


Ironis, insan-insan modern kini mencari cinta (baca: cinta ragawi). Demi itu, mereka memburu alat-alat kecantikan, menghamburkan uang demi mempermak hidung dan dagu atau dada, merawat kuku bahkan (maaf) merias kemaluan, mengukir tatoo, mendatangi butik-butik fashion, mengubah gaya bicara dengan ‘indolish’ dan menata bahasa tubuh. Inilah imagologi cinta yang justru mengamputasi cinta.