Tuesday, December 24, 2013

Yang Membuat Pemuda ini Menangis

 

pemuda yang sedih hatinya         

 

Apa yang Membuat Pemuda ini Menangis?

Saya melakukan perjalanan pulang setelah melakukan safar yang cukup lama. Setelah mengambil posisi di pesawat, qadarullah, posisiku di dekat sekelompok pemuda yang doyan hura-hura. Ketika tertawa dibuat terbahak-bahak, dan terlalu banyak bersenda gurau. Tempat itupun penuh dengan bau rokok mereka.

 

Ketika itu, pesawat penuh penumpang, sehingga tidak memungkinkanku untuk berpindah tempat. Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, biar aku bisa istirahat. Sesak rasanya duduk bersama mereka. Aku hanya bisa menenangkan pikiranku dengan mengeluarkan mushaf dan membaca Al-Quran dengan suara pelan.

 

Beberapa saat kemudian, kondisi mulai tenang. Ada diantara pemuda ramai itu mulai membaca koran, ada yang sudah mulai tidur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan salah satu pemuda yang hura-hura duduk di sampingku: cukup..cukup…! Saya mengira dia merasa terganggu dengan suaraku. Akupun minta maaf, dan melanjutkan baca Al-Quran dengan suara pelan yang hanya bisa kudengar.

 

Tiba-tiba orang itu menutupi wajahnya dengan tangannya, kepalanya naik turun, maju mundur, dengan respon kasar dia memarahi saya: ‘Saya sudah minta kamu untuk diam, diam. Saya gak sabar!’ Diapun langsung pergi meninggalkan tempat duduknya, menghilang dari pandanganku. Sampai akhirnya dia kembali. Dia minta maaf, dan menyesali perbuatannya, kemudian tenang di tempat duduknya.

 

Saya tidak tahu, apa yg sedang terjadi. Tapi setelah tenang sejenak, dia melihat saya dan air matanya mengalir. Di situlah dia mulai bercerita:

 

Sudah kurang lebih tiga tahun, saya belum pernah meletakkan dahiku untuk sujud, saya tidak menyentuh sedikitpun satu ayat dalam Al-Quran. Sebulan ini saya melakukan traveling. Hampir semua maksiat telah aku cicipi dalam perjalanan ini.

 

Aku mendengar anda membaca Al-Quran. Terasa hitam dunia di wajahku. Sesak dadaku. Aku merasa sangat hina. Aku merasa semua ayat yang engkau baca menghantam jasadku, layaknya cambuk. Akupun bingung dan bertanya pada diriku: ‘Sampai kapan kelalaian ini akan kualami?’ ‘Kemana lagi aku harus melaju?’ ‘Setelah piknik penuh hura-hura ini apalagi yang harus aku lakukan?’ Lalu tadi aku ke toilet. Tahu kenapa? Saya ingin menangis sejadinya, dan tidak ada tempat yang terlihat manusia, selain toilet.”

 

Akupun menasehatinya untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Setelah itu dia terdiam. Ketika pesawat mendarat. Dia memintaku ngobrol sejenak. Seolah dia ingin menjauh dari kawan-kawannya.

 

Semangat kesungguhan untuk bertaubat sangat kelihatan dari raut wajahnya. Dia bertanya: “Apa mungkin Allah akan menerima taubatku?” Kujawab dengan firman Allah, ‘Apakah anda pernah membaca firman Allah,

 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

 

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)

 

Dia mulai senyum kecil, senyum penuh harapan dan air matanya berlinangan. Dia menyampaikan kepadaku: “Saya janji, saya akan kembali kepada Allah.”

Pelajaran:

Manusia adalah makhluk lemah. Tak kuasa untuk bersih dari dosa dan maksiat. Ditambah dengan godaan pasukan iblis yang berusaha selalu menyeretnya ke dunia hitam. Tidak ada yang maksum kecuali para Nabi yang Allah lindungi dari dosa besar. Di saat yang sama, Allah membuka pintu taubat yang seluas-luasnya, agar mereka tidak putus asa dari rahmat Sang Pencipta. Tinggal satu yang perlu digugah: Kapan saatnya kita mau bertaubat?

 

Jika Allah sangat menyayangi kita, mengapa diri kita tidak menyayangi diri kita sendiri.

 

Dalam perjalanan pulang dari peperangan, kaum muslimin membawa kemenangan besar. Mereka pulang dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Tiba-tiba ada seorang ibu diantara tawanan itu, yang kebingungan mencari anaknya. Sampai akhirnya ketemu dan dia susui. Melihat hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat,

 

أتروْن هذه طارحةً ولدَها في النار؟

 

“Mungkinkah wanita ini akan melemparkan anaknya ke api?”

 

Para sahabat spontan menjawab: “Demi Allah, tidak mungkin.”

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menimpali:

 

الَلَّهُ أرحمُ بعباده مِن هذه بولدها

 

“Allah lebih menyayangi hamba-Nya, dari pada kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari).

 

Sumber: Tajarub Da’awiyah Najihah (Diterjemahkan Oleh ustadz Ammi Nur Baits)

Artikel www.KisahMuslim.com

Syaikh Al-Albani Naik Sepeda

 

syaikh-albani-naik-sepeda2 13

 

Syaikh al-Albani -rahimahullah- bercerita:

 

“Setelah aku membeli sebidang tanah di luar kota, karena harga tanah di sana murah, aku langsung membangun sebuah rumah lengkap dengan toko. Setelah semuanya beres, aku baru sadar bahwa jarak antara rumahku dengan perpustakaan azh-Zhahiriyyah yang sering aku kunjungi lumayan jauh. Dahulu aku bekerja satu atau dua jam di tokoku sebelum perpustakaan itu dibuka.

 

Kemudian aku membeli sebuah sepeda, sementara itu baru pertama kali penduduk kota

Damaskus menyaksikan pemandangan langka seperti ini, yakni seorang Syaikh bersorban naik sepeda. Wajar saja mereka langsung heran dengan pemandangan ini. Dan pada waktu itu juga ada sebuah majalah yang bernama al-Mudhhik al-Mubkî (lucu yang membuat nangis), yang diterbitkan oleh seorang nasrani. Ternyata dia memasukkan pengalaman ini di majalahnya. Tetapi aku tidak peduli dengan hal remah seperti ini, karena yang paling penting bagiku adalah waktu.”

 

Sumber: Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 47, hlm.51

Syair Rindu Istri Shalehah

 

being alone 0

 

Jarir bin Hazim berkata dari Ya’la bin Hakim, dari Sa’id bin Jubair. Sa’id mengatakan, “Jika sudah tiba petang hari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu biasa berkeliling Kota Madinah. Jika melihat sesuatu yang harus diingkari, maka dia mengingkarinya. Suatu malam tatkala sedang meronda, dia melewati seorang wanita di rumahnya yang berkata,

 

Malam ini terasa panjang dan gelap gulita


Hatiku pilu karena tiada kekasih mendampingi


Andaikan bukan karena Allah yang tiada Rabb selain-Nya


Tentu masih ada kehidupan di ranjang ini

 

Aku takut kepada-Nya dan ada rasa malu menghantui


Kan kujaga kehormatan suami semoga dia cepat kembali

 

Setelah itu wanita tersebut menghela nafas dalam-dalam, seraya berkata, “Mestinya apa yang kualami pada malam ini merupakan masalah yang amat remeh bagi Umar bin Khattab.”

 

Umar mengetuk pintu rumah wanita tersebut. “Siapa yang mengetuk pintu rumah wanita yang ditinggal pergi suaminya malam-malam seperti ini?” Wanita itu bertanya.

 

“Bukakan pintu!” kata Umar. Namun wanita itu menolak.

 

“Demi Allah, andaikata Amirul Mukminin mengetahui tindakanmu ini, tentu dia akan menghukummu.” Kata wanita itu setelah berkali-kali Umar meminta untuk dibukakakn pintu.

Setelah tahu kehormatan yang dijaga wanita itu, Umar berkata, “Aku adalah Amirul Mukminin.”

 

“Engkau pembohong. Engkau bukanlah Amirul Mukminin.”

 

Umar mengeraskan dan meperjelas suaranya, sehingga akhirnya wanita itu tahu bahwa memang dia adalah Umar. Maka dia membukakannya pintu.

 

“Wahai wanita, apa yang telah kau ucapkan tadi?” Tanya Umar.

 

Wanita itu mengulang lagi apa yang dia katakan. “Mana suamimu?” Tanya Umar.

 

“Ikut bergabung dalam pasukan perang ini dan itu.” Jawabnya.

 

Selanjutnya Umar mengutus seorang kurir agar Fulan bin Fulan (suami wanita itu) pulang dari medan perang. Setelah benar-benar kembali, Umar berkata kepadanya, “Temuilah istrimu!”

 

Kemudian Umar menemui putrinya, Ummul Mukminin Hafshah radhiallahu ‘anha, kemudian bertanya, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang wanita tahan berpisah dengan suaminya?”

“Bisa sebulan, dua bulan, atau tiga bulan. Setelah empat bulan dia tak mampu lagi bersabar.” Jawab Hafshah.

 

Maka selanjutnya jangka waktu itu menjadi ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. Hal ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan Allah dalam m.asalah ila’ (ila’: suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama empat bulan atau lebih). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa kesabaran wanita bisa menipis setelah empat bulan dan tidak mampu lagi bersabar setelah jangka waktu itu. Maka jangka waktu empat bulan itulah yang ditetapkan bagi laki-laki yang meng-ila’. Setelah masa itu, dia bisa menyuruh istrinya untuk memilih tetap mempertahankan perkawinan atau cerai. Setelah empat bulan, tentu kesabarannya menjadi melemah, sebagaimana yang dikatakan penyair,

 

Tatkala kuseru tangis dan kesabaran


 Setelah di antara kita ada perpisahan


 Dengan patuh tangis memberi jawaban


 Dan tiada jawaban dari kesabaran

 

Sumber: Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Mustaqin oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah

Pengaruh Teman Dalam Kehidupan

 

Sujud, Masjidil Haram 3

 

Pelajaran dari kisah persahabatan antara Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan persahabatan antara Ubaidullah bin Ziyad dengan Syamr bin Dzi al-Jausyan.
——————————————————————————————————————————————–

Islam sangat menaruh perhatian besar dalam masalah sosial, di antaranya dalam masalah pergaulan atau pertemanan. Islam menekankan agar seseorang memilih teman-teman yang baik, agar pengaruh baiknya membekas pada dirinya. Ketika seseorang berteman dengan seseorang yang shaleh, maka ia akan melihat adab-adab yang mulia, perkataan-perkataan santun dan baik, dan nasihat-nasihat pun akan keluar dari mulut sang teman apabila temannya yang lain melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perumpamaan pertemanan seperti ini telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

 

Dari Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:

 

 

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ

مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

 

Dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk (sepergaulan) yang buruk adalah seperti pembawa misk (minyak wangi) dan pandai besi. Si pembawa misk mungkin akan memberimu (minyak wangi) atau engkau membeli minyak itu darinya atau engkau mendapatkan baunya yang harum. Sedangkan pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu atau kamu dapati bau yang busuk darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Sedangkan teman yang buruk akan mendorong kita melakukan keburukan-keburukan atau batas minimalnya kita akan terbiasa melihat perbuatan maksiat, dan menghilangkan kebencian kita terhadap perbuatan dosa. Pertemanan seperti ini adalah perteman yang semu, semu di dunia ini, tidak langgeng, dan akan saling memusuhi di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

 

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

 

 “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. (QS. Az-Zukhruf: 67).

 

Berikut ini kita akan mengambil pelajaran dari perteman Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh pertemanan yang baik, yang membawa pahala, dan mendekatkan diri kepada Allah.

 

Dan yang lainnya adalah pertemanan Pemimpin Irak, Ubaidullah bin Ziyad bersama teman dekatnya Syamr bin Dzi al-Jausyan, sebagai contoh pertemanan yang buruk, yang saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan, serta mendekatkan keduanya kepada murka Allah.

 

Pertama, pertemanan Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahumallahu.

 

Saat Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah, ia mendekati orang-orang yang shaleh untuk ia jadikan teman dekat yang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Di antara orang tersebut adalah gubernurnya Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman menjadikan Umar sebagai teman dekat dengan beberapa alasan:

 

-          Kepribadian Sulaiman sangat berbeda dengan saudaranya, al-Walid bin Abdul Malik, kahlifah sebelumnya. Al-Walid adalah seorang yang ujub, bangga terhadap dirinya sendiri, hanya percaya pada pendapatnya sendiri, sedangkan Sulaiman adalah seorang yang rendah hati, tidak ujub dan tidak membangga-banggakan dirinya.

 

-          Sulaiman meyakini bahwa Umar mempunyai pendapat-pendapat yang benar dan lurus.

-          Rasa terima kasih Sulaiman kepada sikap Umar tatkala al-Walid hendak menyingkirkan dirinya. Hal ini menimbulkan kedekatan secara personal di antara mereka berdua.

 

Ketika Sulaiman naik tahta menjadi khalifah, ia tidak melupakan kerabat sekaligus teman dekatnya Umar bin Abdul Aziz. Ia sering meminta nasihat dan tidak berkeberatan apabila diingatkan ketika pendapatnya tidak membuat maslahat.

 

Di antara contohnya Umar mempengaruhi Sulaiman untuk membuat kebijakan agar masyarakat menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan jangan sampai aktivitas mereka melalaikan dari ibadah yang agung ini (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal. 170). Umar memberi masukan kepada Sulaiman terhadap Hajjaj bin Yusuf dan kroni-kroninya agar meerka dibatasi dan tidak bertindak sewenang-wenang (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal: 169).

 

Sulaiman bin Abdul Malik juga terbuka dan menerima kritik. Umar bin Abdul Aziz mengkritik Sulaiman terkait surat wasiat Khalifah Abdul Malik tentang hak waris putri-putrinya. Sulaiman hendak melaksanakan wasiat sang ayah, Abdul Malik, yang menyatakan putri-putrinya tidak mendapatkan warisan.

 

Lalu Umar menyanggahnya, kata Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau meminta kitab Allah (sebagai putusan yang adil)?” Saat itu Ayyub bin Sulaiman menanggapi perkataan Umar, “Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut mengucapkan kata-kata yang karenanya lehernya dipenggal?” Maka Umar menanggapi, “Jika perkara ini diserahkan ke tanganmu, maka apa yang menimpa kaum muslimin lebih besar daripada apa yang engkau katakan.” Sulaiman lalu membela Umar dan memarahi Ayyub (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Hal: 31).

 

Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Mdinah, ia membagi-bagikan harta dalam jumlah yang besar kepada penduduk Madinah. Lalu ia bertanya kepada Umar, “Apa pendapatmu tentang apa yang telah kami lakukan wahai Abu Hafsh (kun-yah Umar)?” Umar menjawab, “Aku melihatmu membuat orang kaya semakin kaya dan membiarkan orang-orang miskin dengan kemiskinannya.” (at-Tarikh al-Islami, 15: 30-31).

 

Umar mengkritik sedekah yang dilakukan Sulaiman karena tidak tepat sasaran, dan penting bagi khalifah untuk membedakan antara sekedar berbuat baik biasa degan berbuat baik dengan cara tepat sasaran sehingga memiliki manfaat yang jauh lebih besar.

 

Di hari Arafah, Sulaiman dan Umar wukuf di Arafah. Sulaiman merasa bahagia dengan banyaknya umat Islam yang berkumpul memenuhi panggilan Allah. Saat itu Umar bin Abdul Aziz berkata kepadanya, “Mereka adalah rakyatmu hari ini, tetapi besok kamu akan ditanya tentang mereka.”

 

Dalam riwayat lain, “Mereka adalah orang-orang yang akan menuntutmu di hari kiamat.” Tiba-tiba Sulaiman menangis, nasihat Umar benar-benar menghujam di dadanya, ia berkata, “Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 685).

 

Inilah profil pertemanan yang bermanfaat, pertemanan yang saling mengajak kepada kebaikan, bahkan sebelum wafatnya Sulaiman menunjuk Umar sebagai khalifah agar amanah kepemimpinannya bisa meringankannya.

 

Berikutnya adalah contoh pertemanan yang buruk. Teman yang buruk akan mengajak temannya melakukan perbuatan dosa dan menjauhkannya dari Allah Ta’ala. Pertemanan antara Ubaidullah bin Ziyad dan Syamr bin Dzi al-Jausyan.

 

Di dalam Huqbah min at-Tarikh dikisahkan, saat terjadi kekacauan di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dimana Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah, hendak berangkat menuju Kufah (kota di Irak) untuk menyambut undangan penduduk Kufah yang siap membaiatnya sebagai khalifah.

 

Saat Husein hampir tida di Kufah, ia dicegat oleh pasukan-pasukan Kufah atas perintah Ubaidullah bin Ziyad. Awalnya Ubaidullah hanya akan melakukan apa yang Yazid perintahkan, yakni supaya Husein tidak memasuki Kufah demi menghindari terjadinya fitnah. Husein pun akhirnya menyadari bahwa penduduk Kufah telah menghianatinya, Husein mengajukan beberapa pilihan kepada pasukan Kufah; membiarkannya pulang ke Mekah atau Madinah, pergi menemui Yazid di Syam, atau membiarkannya pergi menuju daerah perbatasan. Saat keinginan ini disampaikan kepada Ubaidullah, ia menuruti apa yang diinginkan Husein, dan menghormatinya sebagai keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Namun apa yang baru saja diucapkan Ubaidullah seketika menjadi berubah saat mendengar masukan dari Syamr bin Dzi al-Jausyan. Kata Syamr, “Engkau seorang pemimpin, tapi dia (Husein) yang menentukan? Aneh sekali.” Lalu Syamr menyarankan, “Bawa dia kemari sebagai tahanan, lalu engkau yang tentukan setelah itu.”

 

Akhirnya pasukan diperintahkan untuk menahan Husein, dan membawanya ke Irak sebagai tahanan. Husein yang tidak menerima hal itu, karena seorang muslim memang tidak boleh dijadikan tawanan oleh muslim lainnya, terlebih dia adalah satu-satunya cucu Rasulullah yang hidup di muka bumi ini, kekerabatannya dengan Rasulullah sangatlah dekat, dan Rasulullah memerintahkan umatnya agar berbuat baik kepada keluarganya. Namun Ubaidullah sudah terlalu gelap untuk menerima hukum-hukum tersebut, pasukannya pun –yang terdiri dari orang-orang yang berhianat kepada Husein- menerima perintah tanpa memikirkan siapa yang mereka hadapi. Akhirnya Husein radhyiallahu ‘anhu terbunuh.

 

Inilah pengaruh teman yang buruk, sampai-sampai bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tidak hanya membuat gelap mata seseorang dari kemaksiatan-kemaksiatan kecil bahkan dosa besar pun tidak dirasakan lagi, dosa membunuh orang yang termasuk kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Oleh karena itu, hendaknya kita memilih teman-teman yang baik, yang menjauhkan kita dari bahaya dan perbuatan dosa. Dan mencari teman-teman yang shaleh, yang mempengaruhi kita untuk semakin taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.